REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan data Badan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pagi ini, jumlah titik panas di Provinsi Riau berkurang. Meski begitu, BMKG tetap meminta pemerintah daerah dan pihak terkait waspada terjadinya kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
Pada keterangan pers yang diberikan BMKG kemarin, terdapat 80 titik panas yang ada di Provinsi Riau. Data terbaru pagi ini, pukul 07.00 WIB, titik panas tersebut berkurang menjadi 54 titik. Wilayah dengan titik panas terbanyak di Bengkalis, yakni 28 titik.
"Bengkalis 28, Meranti tiga, Dumai enam, Pelalawan tiga, Rokan Hilir empat, Siak satu, Indragiri Hilir sembilan," ujar Kepala Bagian Hubungan Masyarakat BMKG, Akhmad Taufan Maulana, saat dikonfirmasi melalui aplikasi pesan singkat, Jumat (22/2).
Deputi Bidang Klimatologi BMKG Herizal menjelaskan, selama 10 hari kedua Februari, wilayah subsiden atau kering mendominasi wilayah Indonesia hingga 10 hari terakhir bulan ini. Hal ini ditengarai sebagai MJO (Madden Julian Oscillation/massa udara basah) fase kering. Kondisi tersebut akan menyebabkan proses penguapan dan pembentukan awan hujan terhambat.
"Kondisi kurang hujan di wilayah tersebut didukung oleh kondisi troposfer bagian tengah yang didominasi kelembaban udara yang relatif rendah. Ini sesuai dengan peta prediksi spasial anomali radiasi balik matahari gelombang panjang (OLR)," kata dia dalam keterangan persnya, Kamis (21/2).
Herizal menyampaikan, dampak kemarau pertama adanya peningkatan jumlah titik panas pada dua pekan terakhir ini di berapa wilayah. Sebagaimana terpantau oleh BMKG, daerah yang cukup signifikan berada di Riau, yakni 80 titik dari 24 titik pada pekan sebelumnya, dan Kalimantan Timur, sebanyak tujuh titik.
Herizal menambahkan kondisi kering ini akan berpotensi memudahkan terjadinya titik panas yang dapat memicu kejadian kebakaran hutan dan lahan, yang akhirnya dapat menimbulkan asap dan penurunan kualitas udara. Herizal mengimbau kepada pemerintah daerah, instansi terkait, dan masyarakat luas pada umumnya di wilayah terdampak untuk terus waspada dan siap siaga. Kesiapsiagaan tersebut diperlukan terhadap potensi karhutla, bahaya polusi udara dan asap, potensi kekeringan lahan dan kekurangan air bersih.