REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bagaimana hubungan sang penggerak modernisme Islam dengan sufisme? Hal itu dielaborasi Elizabeth Sirriyeh dalam bukunya, Sufis and Anti-Sufis.
Dia menggolongkan Rasyid Ridha ke dalam kelompok Muslim “anti-sufi.” Bagaimanapun, jelas penulis itu, ulama kelahiran al-Qalamoun (Lebanon) itu saat masih remaja pernah terpikat pada ajaran sufisme.
Fase yang sama pernah dialami dua pendahulunya, Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh (gurunya sendiri). Saat berusia belia, Rasyid Ridha mendapatkan pendidikan bercorak Barat, semisal bahasa Prancis, matematika (dengan angka Latin), dan sains.
Dia tidak hanyut dalam alam keilmuan Barat. Minatnya pada sufisme justru muncul. Sebagai contoh, dia amat menggemari Ihya Ulumuddin karya Imam Ghazali. Bahkan, dalam otobiografinya kelak Rasyid Ridha mengakui betapa pola hidupnya pada saat itu cenderung asketis.
Lantas, mengapa Rasyid Ridha belakangan berpaling dari sufisme? Dalam karangannya, al-Manar wa al-Azhar, dia menggambarkan pengalamannya.
Suatu kali, Rasyid mendatangi suatu perkumpulan para salik Mawlawi di Tripoli. Di sana, Semabri melantunkan zikir, sementara beberapa orang menari (whirling dervishes) dengan cara berputar-putar dengan kedua kaki sebagai poros. Dalam pada itu, muncul keheranan pada diri Rasyid Ridha:
“Aku hampir-hampir tidak bisa mengendalikan diri. Hampir saja aku menyerukan kepada mereka, ‘Wahai orang-orang atau dapatkah aku memanggil kalian ini Muslim!? Ritual ini sungguh termasuk yang dilarang (dalam Islam).’”
Sirriyeh menduga, Rasyid Ridha memang bisa digolongkan sebagai kalangan "anti-sufi". Namun, hal itu tidak berarti dia menolak semua praktik sufisme. Dia hanya menyoroti ekses dari sufisme yang “salah”.
Sufisme ideal: tak lepas dari dunia
Setelah menunjuk adanya ekses sufisme yang keliru, yakni mengada-adakan sesuatu di dalam Islam. Kemudian, Rasyid Ridha berfokus pada persoalan, bagaimana Islam memandang urusan duniawi. Semangatnya mencari tahu kian menguat setelah dia membaca majalah al-’Urwa al-Wuthqa, yang ditemukannya di arsip tua milik sang ayah.
Waktu itu, dia telah berusia 27 tahun. Dari sana, Rasyid Ridha semakin meyakini bahwa ajaran-ajaran Islam tidak hanya untuk persoalan akhirat, tetapi juga menjawab tantangan duniawi serta mengatur persoalan kemanusiaan.
Dia mengenang efek dari pembacaannya atas majalah itu pada 1892: “Bagaikan jiwaku tersengat aliran listrik.”
Beberapa sejarawan menyebut, momentum itu bukan kali pertama Rasyid Ridha membaca al-’Urwa al-Wuthqa. Hanya saja, antusiasme yang muncul waktu itu jelas lebih tampak.
Tidak lama setelahnya, Rasyid Ridha menulis surat kepada Jamalauddin al-Afghani, sosok yang dikaguminya. Surat itu berisi permohonan agar mau menerimanya sebagai murid. Untuk diketahui, al-Afghani bersama dengan Muhammad Abduh merupakan yang mula-mula mengasuh redaksi majalah al-’Urwa al-Wuthqa.
Memasuki usia 30 tahun, Rasyid Ridha kian mantap berjuang dalam arus modernisme Islam. Sampai akhirnya, dia hijrah ke Mesir dan menjadi murid Muhammad Abduh.
Dia bisa dikatakan paling setia terhadap Abduh, meski tidak selalu sependapat dalam segala hal dengan sang guru. Pada intinya, modernisme Islam melihat kaum Muslimin sedunia dalam permulaan abad ke-20 cenderung kurang awas dalam menghindari bidah, kurafat, dan sikap jumud.