REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bermula di Jazirah Arab dan Mesir. Pengaruh gerakan modernisme Islam begitu meluas dari Maroko hingga Indonesia pada masa transisi abad ke-19 menuju 20.
Perkembangan ini juga seturut dengan kemajuan teknologi modern sejak Revolusi Industri terjadi di Inggris sekitar pertengahan abad ke-18. Itu khususnya berkat progres di bidang transportasi, semisal, kapal uap.
Dibukanya Terusan Suez sekitar medio abad ke-19 semakin mempersingkat durasi lalu lintas pelayaran Eropa dan pesisir Samudra Hindia, yang mayoritasnya dihuni kaum Muslim. Dampaknya, antara lain, kian mudahnya kaum Muslim dari pelbagai penjuru dunia untuk beribadah haji di Tanah Suci.
Haji & Diseminasi Modernisme Islam
Ibadah haji dapat dibaca sebagai pertemuan akbar kalangan elite Muslim dari beragam budaya dan bahasa. Mereka dipersatukan semangat ukhuwah Islamiyah. Tidak jarang, para cendekiawan yang sedang berhaji mendiskusikan situasi yang terjadi di Dunia Islam dalam masa itu.
Tentunya, penindasan dan kolonialisme Barat merupakan tantangan paling nyata bagi umat Islam. Pada poin inilah, pertukaran gagasan dan pengalaman begitu sentral untuk menyebarkan gagasan modernisme Islam.
Selain bidang transportasi, perkembangan teknologi percetakan (printing press) juga menyokong sirkulasi gagasan modernisme Islam. Ini begitu relevan dalam kasus majalah al-’Urwa al-Wuthqa. Media yang terbit perdana pada 1884 di Paris, Prancis, itu menjadi wahana penyebaran ideologi tersebut.
Seperti diungkapkan Ensiklopedi Islam, majalah Al-Manar terbit secara berkala di Mesir dalam periode 1898 sampai 1935. Rasyid Ridha merupakan inisiator di balik hadirnya majalah itu tersebut. Majalah yang sama juga melanjutkan estafet modernisme Islam yang dirintis al-’Urwa al-Wuthqa. Media massa pendahulu Al-Manar itu diasuh dua tokoh penting penggagas modernisme Islam, yaitu Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh (guru Rasyid Ridha).
(ilustrasi) Syekh Rasyid Ridha
Sejak edisi perdananya, Al-Manar bertujuan menyebarkan ide-ide pembaruan dalam bidang agama Islam, sosial dan ekonomi. Selain itu, keredaksian majalah ini juga hendak memberi pencerahan, agar pembaca bebas dari kecenderungan takhayul, bidah, sikap fatalistis, dan ekses tarekat-tarekat yang menjauhkan umat dari dunia objektif.
Meskipun tidak tegas mengusung diksi demokrasi, ada pula semangat menentang absolutisme penguasa dari redaksi Al-Manar. Khususnya, artikel-artikel karangan Rasyid Ridha yang dimuat di dalamnya.
Dia sendiri adalah salah seorang pengkritik kesewenangan Sultan Usmaniyyah. Rasyid juga mengajak para pemimpin Muslim untuk lebih mengedepankan musyawarah mufakat, sehingga sebuah kebijakan lahir benar-benar memerhatikan keluh-kesah rakyat, bukan kemauan penguasa semata.