REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Profesor Bambang Hero Saharjo menilai penetapan status siaga kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) di Provinsi Riau sejak 19 Februari hingga 31 Oktober mendatang sebagai langkah yang tepat. Namun, ia meminta agar penetapan status ini tidak dipolitisasi sejumlah kalangan karena hanya akan menimbulkan kepanikan yang tidak perlu di masyarakat.
Dengan penetapan dini oleh Pemprov Riau menjadi langkah antisipasi agar Karhutla tidak meluas. "Saya baca ada yang mengaitkan penetapan status siaga karhutla ini dengan kegagalan pemerintah, saya kira ini salah. Justru penetapan status ini langkah antisipasi dini dalam mengatasi karhutla," ujar Bambang kepada pers di Jakarta, Jumat (22/2).
Menurut Bambang, pada masa-masa sebelumnya, karhutla dibiarkan berlarut-larut. Sementara pemda tidak memiliki kemampuan maksimal baik dari segi SDM, peralatan, hingga pendanaan untuk pemadaman.
Akibatnya, ia mengatakan, karhutla terus meluas dan tidak terkendalikan. Inilah salah satu penyebab utama karhutla selalu rutin terjadi di Indonesia selama kurun waktu dua dekade dan fase terparahnya terjadi pada tahun 1994, 1997/1998, 2006 dan 2015.
Namun sejak tiga tahun terakhir, pada masa pemerintahan Presiden Jokowi telah dilakukan langkah koreksi dengan penetapan status siaga sejak dini. Dengan langkah ini, pemda mendapat bantuan dari pemerintah pusat baik dari operasional maupun pendanaan, saat titik api masih belum meluas.
"Kalau sudah ada lebih dari dua kabupaten mengalami kebakaran, masa; harus dibiarkan meluas baru dibantu? Karena itu pemerintah pusat turun tangan membantu, landasan kerjanya adalah penetapan status," kata Bambang.
Dengan penetapan status itu, kata dia, menjadi landasan turunnya bantuan lintas instansi baik pusat maupun daerah. Termasuk soal pendanaan kedaruratan. Justru daerah sangat terbantu dengan status siaga ini karena pengendalian dilakukan terpadu semua sektor dan pakai APBN, bukan APBD.
Reaksi Cepat
Jadi penetapan status ini, kata Bambang, perlu diapresiasi sebagai bentuk reaksi cepat pemerintah. Inilah langkah koreksi yang dilakukan di masa pemerintahan Jokowi dan tidak pernah dilakukan oleh pemerintah sebelumnya.
Langkah koreksi ini pula yang menjadi salah satu kunci keberhasilan pengendalian karhutla yang dibuktikan dengan penurunan hotspot hingga 85 persen dibandingkan tahun 2015 dan tahun-tahun sebelumnya. "Jadi kalau dulu sifatnya hanya memadamkan, sekarang cara kerjanya antisipasi dini. Jadi lebih sistematis sehingga karhutla tidak terus meluas,'' kata Bambang.
Semakin cepat penetapan status siaga karhutla, kata Bambang, akan semakin baik. Ia pun menyayangkan bila penetapan status siaga karhutla justru 'diplintir' sebagai bentuk kegagalan pemerintah.
"Kita harus menghargai langkah koreksi yang diambil pemerintah saat ini dan kerja keras tim terpadu yang sudah bekerja keras di lapangan," katanya.
Bambang mengingatkan bahwa karhutla bukanlah kategori bencana karena hampir 99 persen terjadi akibat perbuatan sengaja manusia. "Dulu hal-hal begini dibiarkan terjadi, karhutla dibiarkan meluas. Kalau sekarang tidak lagi, begitu beberapa daerah sudah muncul titik api, pemerintah bergerak cepat," kata Bambang.
Dengan penetapan status siaga ini, semua pihak terkait di pusat dan daerah akan berjaga-jaga dan siaga agar kejahatan yang disengaja itu bisa dihentikan sejak dini. "Kita harus menghargai ikhtiar pemerintah dan sangat disayangkan jika kerja keras ini justru dipolitisasi hanya untuk kepentingan politik semata," kata Bambang.
Sementara itu, Direktur Pengendalian Karhutla Kementerian Linkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Raffles B Panjaitan mengatakan, penetapan status siaga darurat karhutla di Provinsi Riau memudahkan komunikasi, koordinasi dan langkah antisipasi dini. Karena pengendalian karhutla melibatkan unsur terpadu Manggala Agni, TNI, Polri, BNPBD, MPA, swasta dan banyak pihak lainnya.
"Bantuan heli dari KLHK, BNPB dan pihak swasta sudah bisa langsung digunakan untuk Riau. Jadi penetapan status ini bentuk perhatian serius kita membantu masyarakat di daerah," kata Raffles.
Dengan langkah sistematis ini, terbukti dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, karhutla tidak pernah lagi mengakibatkan bencana asap dalam skala besar. Jumlah luasan terbakar dari 2,6 juta ha tahun 2015, turun drastis menjadi 510.564 pada 2018. Jumlah titik api dari 70.971 tahun 2015, turun menjadi 9.245.
Sedangkan Direktur Penegakan hukum KLHK Rasio Ridho Sani mengatakan dengan penetapan dini status siaga, pihaknya juga akan mulai menyurati perusahaan-perusahaan pemilik izin untuk berhati-hati. "Penegakan hukum dari kita jelas dan tegas. Yang sedang kita sorot sekarang kebakaran di lahan masyarakat, dan ini perlu keterlibatan aktif Pemda dan penegak hukum di daerah," kata Rasio.