REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) menyatakan, sebanyak Rp 45,9 triliun dana asing masuk atau capital inflow ke Indonesia per 21 Februari 2019. Aliran dana asing itu masuk ke portofolio melalui Surat Berharga Negara, Sertifikat Bank Indonesia, dan saham. Meski jumlah modal asing itu cukup besar, risiko keluarnya modal secara tiba-tiba atau capital outflow masih sangat terbuka.
“Memang ini akan berdampak positif terhadap nilai rupiah. Namun, itu dalam jangka pendek. Potensi outflow masih besar,” kata Wakil Direktur Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Eko Listiyanto, kepada Republika.co.id, Sabtu (23/2).
Eko menegaskan, capital inflow yang masuk ke tiga instrumen itu pada kenyataannya hanya sekadar portofolio. Bukan investasi yang masuk ke sektor riil. Karenanya, hal itu lebih karena tingkat suku bunga acuan Bank Indonesia yang cukup tinggi, yaitu sebesar enam persen.
Oleh sebab itu, ia menilai capital inflow tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan tingkat kepercayaan investor global terhadap Indonesia. Sebab, sinyal positif bukan datang dari perbaikan fundamental Indonesia, melainkan karena ketertarikan investor pada besaran imbal hasil bunga.
Sebelumnya, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menyatakan, inflow sebesar Rp 45,9 triliun itu jauh lebih besar daripada total inflow yang masuk sepanjang 2018 yang hanya mencapai 13,9 triliun. Bank Sentral pun menilai hal itu menggambarkan tingkat kepercayaan investor terhadap prospek perekonomian Indonesia.
“Saya kurang sependapat kalau ini menggambarkan kepercayaan. Nyatanya, investasi di sektor riil itu menurun,” kata Eko,
Mengutip laporan terakhir Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi penanaman modal asing (PMA) sepanjang 2018 mencapai Rp 392,7 triliun. Turun 8,8 persen dibanding realisasin tahun 2017 sebesar Rp 430,5 triliun. Khusus di kuartal IV 2018, realisasi mencapai Rp 99 triliun, turun 11,6 persen dibanding periode sama tahun 2017 sebesar Rp 112 triliun.
Menurut Eko, data-data tersebut yang benar-benar menggambarkan tingkat kepercayaan investor global pada Indonesia. Karena itu, pemerintah bersama otoritas masih harus meningkatkan kewaspadaan terkait risiko capital outflow yang tak terduga.
Beberapa sentimen negatif yang dapat memicu capital outflow yakni terkait perang dagang antara Amerika Serikat dan Cina. Pada akhir bulan ini, masa penghentian sementara perang dagang antara keduanya akan berakhir. Gejolak di pasar modal dapat terjadi jika kedua negara tidak menemui suatu kesepakatan.
Dari sisi domestik, terkait kondisi makro ekonomi Indonesia. Seperti misalnya pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun hanya berada di kisaran lima persen.
Adapun dorongan positif yang dapat meminimalisasi capital outflow, yakni terkait pernyataan terakhir Bank Sentral AS, The Fed yang akan mengurangi agresifitas kebijakan kenaikan suku bunga di tahun ini. Menurut, Eko, pernyataan itu secara langsung membuat ketertarikan investor menanamkan modal di AS berkurang. Sebagai alternatif, pasar negara berkembang seperti Indonesia menjadi tujuan.