Sabtu 23 Feb 2019 13:29 WIB

'Dominasi Capital Inflow ke Surat Utang Berisiko Bagi RI'

Pemerintah perlu memperhatikan sentimen negatif yang mempengaruhi ekonomi.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Friska Yolanda
Karyawan memegang mata uang rupiah di gerai penukaran mata uang asing Ayu Masagung, Kwitang, Jakarta Pusat, Senin (28/1/2019).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Karyawan memegang mata uang rupiah di gerai penukaran mata uang asing Ayu Masagung, Kwitang, Jakarta Pusat, Senin (28/1/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom lembaga riset Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, mengatakan, masuknya aliran modal asing (capital inflow) dalam jumlah besar ke instrumen surat utang justru berisiko. Inflow tersebut amat rentan keluar secara tiba-tiba akibat dinamika ekonomi global yang belum sepenuhnya berjalan normal.

Bank Indonesia menyatakan, total modal asing yang masuk ke Indonesia per 21 Februari 2019 mencapai Rp 45,9 triliun. Sebanyak Rp 33,9 triliun di antaranya masuk ke portofolio Surat Berharga Negara (SBN), Sertifikat Bank Indonesia (SBI) sebesar Rp 1,1 triliun, dan saham mencapai Rp 11,3 triliun.

Capaian itu jauh lebih besar daripada keseluruhan capital inflow 2018 yang hanya Rp 13,9 triliun. “Jika investor asing secara bersamaan menjual kembali surat utang itu maka nilai rupiah bisa kembali tertekan. Ini justru bisa memperparah struktur ekonomi,” kata Bhima kepada Republika.co.id, Sabtu (23/2).

Bhima mencatat, saat ini sebanyak 37 persen dari total surat utang pmerintah Indonesia dipegang oleh investor asing. Kondisi itu mencerminkan Indonesia menjadi salah satu negara dengan kepemilikan asing tertinggi di surat utang.

Padahal, seharusnya, hal yang harus didorong adalah penanaman modal asing (PMA) di sektor riil. Terutama di sektor-sektor industri manufaktur yang memiliki multiplier effect terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia keseluruhan. Salah satunya, peningkatan penyerapan tenaga kerja.

Ia pun mencatat sejumlah sentimen negatif yang harus diperhatikan oleh Bank Indonesia bersama pemerintah. Di antaranya, perang dagang di pasar global, pengetatan likuiditas global, antisipasi kericuhan menjelang Pemilu 2019, hingga laporan keuangan emiten di bulan Maret yang berpotensi tidak sesuai ekspektasi.

Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) Bank Indonesia, nilai tukar rupiah sejak 1 Februari 2019 hingga 22 Februari tengah mengalami pelemahan. Pada awal bulan, rata-rata rupiah diperdagangkan Rp 13.978 per dolar AS. Namun, hingga akhir pekan ini, rupiah diperdagangkan Rp 14.079 per dolar AS.

Kondisi serupa juga terlihat pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia. Tercatat pada 1 Februari 2019, laju IHSG sebesar 6.538,638 sedangkan pada 22 Februari 2019, IHSG mengalami pelemahan tipis menjadi 6.501,378. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement