Ahad 24 Feb 2019 00:49 WIB

Benarkah Ahok Pengaruhi Penurunan Elektabilitas PDIP?

Survei IndEX Research menyebut elektabilitas PDIP turun menjadi 22,9 persen.

Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat mengurus administrasi pembebasan dirinya di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Kamis (24/1).
Foto: Instagram/@basukibtp
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok saat mengurus administrasi pembebasan dirinya di Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Kamis (24/1).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad, Rizkyan Adiyudha, Antara

Elektabilitas Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) berdasarkan dua survei terakhir menunjukkan penurunan yang cukup signifikan, khususnya dari pemilih kalangan muslim. Survei terbaru dari Indonesia Elections and Strategic (IndEX) Research menunjukkan elektabilitas PDIP menurun ke angka 22,9 persen.

Sementara itu, survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA menunjukkan suara PDIP turun cukup drastis di segmen pemilih muslim. Elektabilitas PDIP pada Januari 2019 di kalangan pemilih muslim turun menjadi 18,4 persen.

Padahal, LSI Denny JA mencatat elektabilitas PDIP pada Agustus 2018 sebesar 23,2 persen. Namun, PDIP masih menempati urutan pertama dalam hal raihan suara dari kalangan pemilih muslim.

Menurut IndEX Research, faktor paling kuat yang mempengaruhi fenomena tersebut adalah bergabungnya mantan gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Benarkan Ahok menjadi penyebab turunnya elektabilitas PDIP?

Pengamat politik Universitas Brawijaya Malang, Wawan Sobari menyatakan hal yang bertentangan dengan survei tersebut. Menurutnya, elektabilitas PDIP tidak berpengaruh terlalu besar karena bergabungnya BTP ke partai tersebut.

"Lihat saja hasil survei terakhir, dari beberapa lembaga survei apa (bergabungnya Ahok) berpengaruh terhadap elektabilitas PDIP. Kalau menurut saya, tidak akan begitu terpengaruh," ujar Wawan kepada Republika, Sabtu (23/2).

Wawan menjelaskan, salah satu alasan tidak terpengaruhnya elektabilitas PDIP dengan bergabungnya BTP, karena masyarakat tidak memviralkan hal tersebut. Namun, pengaruh bergabungnya mantan Gubernur DKI tersebut dapat sangat terasa bagi partai tersebut jika seandainya ia bergabung dengan tim sukses Jokowi-Ma'ruf Amin.

"Ini kemudian yang berbeda, nah tinggal bermain di framing itu saja, tapi kalau Ahok disimbolkan dekat dengan Jokowi, itu bisa berpengaruh. Itu punya berpotensi (elektabilitas turun) di kalangan pemilih muslim," ujar Wawan.

Namun, Wawan tak bisa menampik bahwa bergabungnya BTP ke PDIP dimanfaatkan sejumlah oknum untuk melakukan black campaign. Baik kepada PDIP ataupun pasangan calon nomor urut 01, Jokowi-Ma'ruf Amin.

"Jadi itu (bergabungnya BTP ke PDIP) dijadikan senjata, terutama yg memang, biasa memakai politik identitas," ujar Wawan.

Direktur Populi Center, Usep S. Ahyar, menegaskan bahwa pemilih dari kalangan muslim tak dapat diasosiasikan ke partai politik tertentu. Karena saat ini, terdapat sejumlah partai nasionalis yang juga mendekati kalangan muslim. Salah satunya adalah PDIP yang membentuk Baitul Muslim Indonesia.

Akan tetapi, jika pemilih berdasarkan ormas Islam tertentu, hal tersebut barulah bisa diasosiasikan ke suatu partai politik. "Itu kalau bisa dilihat lebih mikro bisa dilihat, misal kecenderungan Muhammadiyah ke mana, FPI ke mana, KAHMI ke mana. Tapi dalam konteks makro agama Islam, saya kira agak susah. Bedanya itu hanya penekanan aja," ujar Usep.

Menurutnya, partai-partai di Indonesia sebenarnya tidak terlalu memiliki perbedaan yang mencolok dalam hal meraup suara dari berbagai tipe pemilih. Karena sejumlah partai juga mengakomodasi pemilih yang berbeda dengan basisnya.

"Misal PDIP yang nasionalis juga mendirikan Baitul Muslimin. Ada juga PKS yang berbasis agama, tapi yang di basis-basis timur juga mengakomodasi pemilih yang non-Muslim," ujar Usep.

Wawan pun berpendapat sama dengan Usep, karena sejak pemilihan umum (Pemilu) pertama pada 29 September 1955 hingga Pemilu 2014, partai berlabel Islam selalu mengalami penurunan suara. Karena menurutnya, tidak semua pemilih Muslim di Indonesia terasosiasikan ke ormas atau partai politik tertentu.

Bahkan menurut survei LSI Denny JA terbaru, partai berlabel Islam seperti PKB berada di urutan keempat, dengan perolehan 9,3 persen. PKS di urutan ketujuh, dengan perolehan 4,6 persen. Sementara itu, PPP berada di bawah PKS, dengan perolehan sebesar 4,1 persen. Terakhir ada PAN yang berada di peringkat 10, dengan perolehan 1,6 persen.

"Pemilu '55 masih hampir sekitar 40 (persen), hampir 50 persen. Tapi jika lihat partai berlabel Islam di pemilu 2014, itu maksimal cuma 31,38 persen, jadi tren-nya turun," ujar Wawan.

"Jadi bagi saya itu (elektabilitas partai turun) hal yang biasa, apalagi melihat tren suara partai Islam dari Pemilu '55 trennya menurun," lanjutnya.

Analis politik, Pangi Syarwi Chaniago menjadi salah satu yang percaya bahwa penyebab turunnya elektabilitas PDIP, yakni masuknya Ahok ke partai berlambang banteng moncong putih itu. Pangi di Jakarta, Sabtu, menilai Ahok yang memberikan sentimen negatif karena dicap sebagai partai penista agama.

Menurut dia, elektabilitas PDIP yang turun karena ada pengaruh dari pemilih sosiologis. Oleh karena itu, pemilih tersebut masih menyimpan luka terkait dengan sikap Ahok. Hal ini perlu waktu untuk mengobatinya.

"PDIP harus segera recovery, ditambah lagi bergabungnya Ahok ke PDIP sintemen negatif dan mempertegas bahwa PDIP partai pendukung penista agama," kata Pangi.

Ia mengatakan, bahwa elektabilitas PDIP bergantung pada Presiden Jokowi. Jika Jokowi sukses, citra PDIP makin bagus dan dianggap sukses.

Dengan demikian, secara tidak langsung berdampak pada kenaikan elektabilitas partai berlambang banteng tersebut.

"Suksesnya dan bagusnya citra Jokowi maka menjadi sukses PDIP," katanya.

 Baca juga:

Tanggapan PDIP

Menanggapi dua survei tersebut, politikus PDIP sekaligus Ketua PP Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi), Faozan Amar mengatakan, bahwa partainya akan menggelar evaluasi terkait turunnya dukungan suara dari pemilih muslim. Ia mengatakan, evaluasi akan dilakukan dalam waktu dekat, karena Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 akan berlangsung kurang dari dua bulan lagi.

"Hasil survei tersebut akan menjadi bahan evaluasi kami, sehingga dalam dua bulan ke depan bisa meraih kemenangan secara maksimal," ujar Faozan kepada Republika.

Sekretaris Jendral PDIP Hasto Kristiyanto ikut menanggapi turunnya elektabilitas partai menyusul survei yang dilakukan IndEX Research. Hasto mengaku tidak memiliki kekhawatiran tertentu atas hasil survei tersebut.

"Alah, itu framing karena PDIP elektabilitasnya tertinggi dan kami mendapatkan dukungan mayoritas dari muslim," kata Hasto Kristiyanto di sela-sela safari kebangsaan di Cimahi, Sabtu (23/2).

Hasto mengatakan, PDIP hingga kini masih terus mendapatkan dukungan dari wong cilik dan para habaib. Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) ini melanjutkan, PDIP juga akan terus bergerak untuk menghimpun dukungan dari berbagai kalangan masyarakat.

Hasto menegaskan, PDIP merupakan rumah kebangsaan dari Indonesia Raya. Dia mengungkapkan, dalam waktu dekat nanti juga akan deklarasi beberapa kiai yang akan memberikan dukungan mereka kepada partai dan pasangan calon Joko Widodo-Ma'ruf Amin.

"Jadi ada TNI/Polri, ada akademisi, tokoh agama. Semua mencerminkan PDIP sebagai rumah Indonesia raya," kata Hasto lagi.

[video] TKN akan Gencarkan Door to Door Jelang Pilpres 2019

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement