Ahad 24 Feb 2019 18:26 WIB

KPPU: Kemendag Belum Penuhi Panggilan Terkait Kartel Garam

Keterangan Kemendag dibutuhkan untuk mencocokan data kuota impor

Rep: Imas Damayanti/ Red: Ichsan Emrald Alamsyah
Suasana bongkar muat garam impor dari Kapal MV Golden Kiku ke truk pengangkut di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (12/8). Sebanyak 27.500 ton garam impor dari Australia tersebut rencananya akan disebar ke sejumlah Industri Kecil Menengah di tiga wilayah yakni Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kalimantan Barat.
Foto: Zabur Karuru/Antara
Suasana bongkar muat garam impor dari Kapal MV Golden Kiku ke truk pengangkut di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (12/8). Sebanyak 27.500 ton garam impor dari Australia tersebut rencananya akan disebar ke sejumlah Industri Kecil Menengah di tiga wilayah yakni Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kalimantan Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengaku belum mendapat respons atas panggilan persidangan yang ditujukan kepada Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkait kasus dugaan kartel garam pada 2015 silam.

“Sejauh ini belum ada kesaksian apapun dari pihak Kemendag, sudah kami panggil,” kata Komisioner KPPU Guntur Syahputra Saragih kepada Republika, Ahad (24/2). 

Baca Juga

KPPU mempertanyakan impor garam industri aneka pangan yang dilakukan oleh tujuh perusahaan garam pada Februari 2015 silam. Izin impor garam industri aneka pangan oleh pemerintah dikeluarkan melalui lintas kementerian pada Juni 2015.

Ketujuh perusahaan yang menjadi terlapor dalam kasus dugaan kartel garam antara laim PT Garindro Sejahtera Abadi, PT Susanti Megah, PT Niaga Garam Cemerlang, PT Unichem Candi Indonesia, PT Cheetham Garam Indonesia, PT Budiono Madura Bangun Persada, dan PT Sumatraco Langgeng Makmur. 

Investigator KPPU Deni membenarkan belum adanya kesaksian apapun dari Kemendag. Pasalnya, kata dia, keterangan Kemendag dibutuhkan untuk mencocokkan data kuota impor yang diajukan ketujuh perusahaan dengan rekomendasi impor yang ditentukan Kementerian Perindustrian (Kemenperin). 

“Bisa jadi mereka (peusahaan terlapor) mengajukannya hanya lima ribu ton, nggak tahunya justru mengimpor 10 ribu. Ini hanya contoh saja, bukan data sebenarnya, karena kita belum tahu,” kata Deni. 

Dia menjelaskan, kekurangan kebutuhan industri nasional biasanya akan dimasukkan ke dalam rapat koordinasi terbatas (rakortas)  dengan persyaratan yang harus disesuaikan dengan data kebutuhan riil di lapangan. Jika produksi garam nasional belum dapat memenuhi kebutuhan industri, kata dia, pemerintah dapat menentukannya lewat rakortas. 

Deni menjelaskan, sebelum izin impor garam dikeluarkan, pihaknya ingin mengetahui bagaimana proses dan mekanisme penentuan kuota impor tersebut. Pasalnya, impor dilakukan pada Februari 2015 sementara izin impor justru dikeluarkan pada Juni 2015.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement