REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Untuk diketahui, media massa kerap menjadi alat perjuangan tokoh-tokoh nasionalis pada permulaan abad ke-20. Sebagai contoh, ketokohan RM Tirto Adisuryo (1875-1918). Sebelum menggagas Sarekat Dagang Islam (SDI) pada 27 Maret 1909 di Buitenzorg (Bogor), dia merintis media massa Pribumi yakni Medan Prijaji. Melalui koran tersebut, RM Tirto dengan gigih menyuarakan penderitaan rakyat.
Demikian pula fase kehidupan yang dijalani Haji Agus Salim. Seperti diuraikan Kustiniyati Mochtar dalam buku Seratus Tahun Haji Agus Salim, ada beberapa media massa yang di dalamnya Haji Agus Salim aktif.
Dia berturut-turut pernah bekerja sebagai redaktur dan/atau pemimpin redaksi media berikut: Neratja, Hindia Baroe, Bendera Islam, Fadjar Asia, dan Mustika.
Di Neratja, Haji Agus Salim bertahan hingga pemilik modal media tersebut keberatan akan sikap kerasnya terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial. Demikian halnya ketika di Hindia Baroe. Memang, Haji Agus Salim adalah sosok yang teguh berprinsip melawan kebatilan.
Sementara itu, Bendera Islam mengusung semboyan “Soeara Pergerakan Pan Islam dan Nasional Indonesia.”Jelas ideologi koran tersebut adalah persatuan umat Islam tidak hanya di Indonesia, tetapi juga dunia.
Pada praktiknya, Bendera Islam menjadi ajang dialektika antara dua gagasan besar saat itu, yakni nasionalisme-Islam dan nasionalisme-sekuler. Pemimpin Sarekat Islam (SI) HOS Tjokroaminoto dan Haji Agus Salim sendiri memegang rubrik “Pergerakan Islam”, sedangkan “Pergerakan Nasional” dikelola pemimpin Partai Nasional Indonesia (PNI) Ir Sukarno dan Sartono.
Harian itu berhenti terbit lantaran kendala dana. Sesudah itu, muncul Fadjar Asia. Tagline yang dipakai berbunyi “Penerangan Islam tentang Agama, Adab, dan Politik.”
Fokus Fadjar Asia pada keislaman kian kentara sejak Haji Agus Salim pulang dari Tanah Suci usai menghadiri Muktamar Alam Islami pada 1927. Tampak di sini, golongan Islam pun memerhatikan nasib kaum buruh. Perhatian terhadap kaum pekerja bukanlah monopoli gerakan-gerakan kiri.
Sebagai wartawan, Haji Agus Salim tidak jarang masuk ke wilayah-wilayah perkebunan di Jawa, Sumatra, dan Kalimantan. Tujuannya, meliput kehidupan para pekerja yang diperas waktu dan tenaganya.
Haji Agus Salim menemukan, para pekerja kebun itu dibayar dengan upah yang amat minim. Artikel-artikel yang ditulisnya kemudian menuai pujian dari kalangan yang peduli pada kehidupan buruh, termasuk politikus Belanda yang sosialis.
Nederlands Verbond van Vakverenigingen (Persatuan Serikat Buruh Belanda) lantas mengangkat Haji Agus Salim sebagai penasihat dalam Konferensi Buruh Sedunia di Jenewa, Swiss.
Di ajang internasional ini, Haji Agus Salim berpidato dan berkomunikasi dengan lancarnya dalam empat bahasa: Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman.
Terbukalah mata hadirin, khususnya dari negara-negara kulit putih tentang kekejian politik Belanda di tanah koloni.
Bahkan, tidak sedikit negara yang kemudian tidak sudi lagi membeli hasil perkebunan Hindia Belanda. Sebagai respons, pemerintah kolonial akhirnya terpaksa mengubah kebijakan-kebijakan yang ada sehingga lebih lunak terhadap kaum buruh Pribumi.
Surat kabar Fadjar Asia lambat laun kehabisan modal. Haji Agus Salim tidak lagi aktif di sana.
Pada 1930-an, dia ikut membesarkan harian Mustika yang terbit di Yogyakarta. Akan tetapi, umur media ini hanya delapan bulan dan meredup sesudahnya.