Senin 25 Feb 2019 06:30 WIB

Lautan Manusia Berburu Cacing Legenda di Lombok

Cerita menarik juga tersaji saat orang-orang berburu nyale di pinggir laut.

Rep: Muhammad Nursyamsi/ Red: Muhammad Hafil
Lautan manusia berburu cacing laut berwarna-warni dalam Festival Pesona Bau Nyale di Pantai Seger, KEK Mandalika, Lombok Tengah, NTB, Senin (25/2) dini hari.
Foto: Muhammad Nursyamsi/Republika.co.id
Lautan manusia berburu cacing laut berwarna-warni dalam Festival Pesona Bau Nyale di Pantai Seger, KEK Mandalika, Lombok Tengah, NTB, Senin (25/2) dini hari.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Muhammad Nursyamsi / Wartawan Republika.co.id

 

Baca Juga

Mata Aji tak henti-hentinya menatap lautan manusia di Pantai Seger. Dari raut wajahnya, pelajar berusia 16 tahun itu tampak tak sabar ingin ikut serta menceburkan diri ke pantai. Jaraknya dengan bibir pantai hanya sekira 10 meter.

Meski sudah berada di tepi Pantai Seger sejak pukul 03.00 WITA, Aji belum menyentuh sedikit pun air laut. Aji memang harus sedikit lebih bersabar. Sang Ayah menilai masih terlalu dini untuk turun ke pantai lantaran kondisi pukul 04.00 WITA dianggap masih cukup gelap.

"Dari jam 03.00 WITA sudah di sini, tapi kata Ayah nanti saja turunnya (ke pantai)," ujar Aji saat berbincang dengan Republika.co.id di Pantai Seger, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), Senin (25/2) dini hari.

Aji datang bersama sang Ayah dari rumahnya yang berada di Kecamatan Pujut sekira pukul 02.45 WITA menggunakan sepeda motor. Jarak rumahnya ke Pantai Seger memang relatif dekat berkisar 10 kilometer (km) atau 20 menit.

Setengah jam berselang, sang Ayah memberi komando mengajak Aji turun ke pantai. Rona bahagia pun terpancar dari wajahnya. Dengan semangat menggebu-gebu, Aji dengan menenteng serokan atau jala untuk menangkap nyale dengan harapan mendapat banyak hasil buruan untuk disantap di rumah bersama keluarga.

Aji merupakan satu dari begitu banyak orang yang berburu cacing laut berwarna-warni dalam Festival Pesona Bau Nyale 2019. Bau Nyale sendiri berarti menangkap cacing laut berwarna-warni dalam bahasa Sasak (penduduk Lombok) yang hanya muncul sekali dalam setahun mengacu pada kalender penanggalan suku Sasak.

Ramdan juga tak kalah semangat. Warga Desa Rembitan, Kecamatan Pujut, datang seorang diri untuk berburu nyale dengan jala dan senter di atas kepala. Ramdan mengaku sudah menjadi rutinitas untuk berburu nyale sejak masih remaja. Pria berusia 29 tahun mengatakan hasil tangkapannya akan dimasak untuk dimakan bersama keluarga.

"Tujuannya untuk dimakan, bisa digoreng atau direbus tergantung selera, dimakan mentah juga bisa. Kalau dibilang untuk penyubur lahan pertanian itu hanya mitos," kata Ramdan.

Berbeda dengan Aji dan Ramdan, Khadari mengaku memilih mendirikan tenda di sekitar Pantai Seger bersama rekan-rekannya sejak malam hari.  Khadari yang kini berusia 21 tahun mengaku sudah sejak kelas 3 SMP ikut berburu nyale.

"Setiap tahun wajib ke sini," kata warga Kecamatan Praya Tengah, Lombok Tengah, tersebut.

Khadari mengatakan hasil tangkapannya pada hari ini relatif lebih banyak dibandingkan hari sebelumnya. Namun, dia mengaku lebih dahulu menyudahi perburuannya ketimbang empat rekannya.

"Saya sudah nyerah, sudah dingin sekali, kaki juga tadi kena sama karang," ucap Khadari.

Khadari mengatakan keunikan nyale lantaran kerap diasosiasikan sebagai jelmaan Putri Mandalika. Cerita menarik juga tersaji saat orang-orang berburu nyale di pinggir laut.

"Kalau di tengah (laut) ngomongnya kasar-kasar biar keluar (nyalenya), itu kepercayaan warga sekitar saja. Padahal kadang dikasarin juga tidak keluar. Kalau tidak mau keluar, ya tidak bisa dia," seloroh Khadari.

Khadari menyampaikan, hasil tangkapannya dalam Bau Nyale dua tahun terakhir cukup banyak ketimbang tahun-tahun sebelumnya yang relatif sedikit. Khadari tentu gembira lantaran hasil tangkapannya bisa dia nikmati bersama keluarga di rumah.

Bau Nyale sendiri merupakan sebuah tradisi yang sangat melegenda dan mempunyai nilai sakral tinggi bagi penduduk asli Pulau Lombok yakni suku Sasak, terutama di wilayah Lombok bagian selatan. Pesta Bau Nyale ini erat dengan sebuah cerita rakyat yang berkembang tentang hikayat seorang putri cantik bernama Mandalika.

photo
Warga beramai-ramai merayakan Festival Bau Nyale.

Putri dari pasangan Raja Tonjang Beru dan Dewi Seranting tumbuh menjadi seorang gadis yang sangat cantik dan memesona. Kecantikannya tersebar hingga ke seluruh Lombok sehingga pangeran-pangeran dari berbagai kerajaan seperti Kerajaan Johor, Kerajaan Lipur, Kerajaan Pane, Kerajaan Kuripan, Kerajaan Daha, dan Kerajaan Beru berniat mempersuntingnya.

Sang Putri menjadi gusar. Pasalnya, jika memilih satu di antara mereka maka akan terjadi perpecahan dan pertempuran di Gumi Sasak, nama lain Pulau Lombok. Sang Putri akhirnya mengundang seluruh pangeran beserta rakyatnya untuk bertemu di Pantai Kuta, Lombok pada tanggal 20 bulan ke-10 menurut perhitungan bulan Sasak tepatnya sebelum subuh.

Di hadapan para pangeran dan rakyatnya, Sang Putri meloncat ke dalam laut. Seluruh rakyat yang mencarinya tidak menemukan jasadnya. Setelah beberapa saat, datanglah sekumpulan Cacing berwarna-warni yang menurut masyarakat dipercaya sebagai jelmaan Putri Mandalika.

Bau Nyale hanya muncul di pantai yang berada di Lombok bagian selatan. Pantai Seger yang berada di dalam kawasan ekonomi khusus (KEK) Mandalika, Kabupaten Lombok Tengah, NTB, menjadi salah satu tujuan favorit warga Lombok dalam berburu cacing laut berwarna-warni.

Pasalnya, Pantai Seger diyakini menjadi tempat dari hilangnya Putri Mandalika ke lautan. Pengunjung yang datang ke Pantai Seger juga bisa melihat patung-patung yang menggambarkan Putri Mandalika yang hendak membebaskan diri dari tiga laki-laki yang berusaha menahan di belakangnya. Pemerintah juga menjadikan Festival Pesona Bau Nyale sebagai salah satu dari 100 kalender pariwisata nasional.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement