REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sesudah utusan Liga Arab melawat Yogyakarta pada 15 Maret 1947, pemerintah lantas mengutus Haji Agus Salim ke sejumlah negara Arab.
Misinya tidak hanya kunjungan balasan atas kedatangan konsul jenderal Mesir di Bombay (India) itu, tetapi juga mendapatkan pengakuan resmi negara-negara Arab atas Indonesia. Sebelumnya, pada 18 November 1946 Liga Arab sudah menunjukkan itikad baik untuk mengakui eksistensi RI.
Pada 23 Maret 1947, Mesir menjadi negara pertama yang mengakui secara de jure RI. Langkah tersebut lalu diikuti negara-negara Arab lainnya, seperti Lebanon, Suriah, Irak, Arab Saudi, dan Yaman.
Misi Haji Agus Salim dan tim tidak berhenti di sana. Menteri luar negeri RI itu kemudian terbang ke New York, Amerika Serikat, pada 10 Agustus 1947.
Sebab, dalam beberapa hari lagi Dewan Keamanan PBB akan menggelar rapat yang membahas kasus de-kolonisasi pertama sejak usainya Perang Dunia II: sengketa Indonesia vs Belanda.
Pada 14 Agustus 1947, lengkap sudah tim RI pada sidang DK PBB di Lake Success, AS. Mereka terdiri atas Haji Agus Salim, Sutan Sjahrir, Sumitro Djojohadikusumo (ayahanda Prabowo Subianto) dan Soedjatmoko serta Charles Tambu.
Sutan Sjahrir, dengan bahasa Inggris yang fasih dan retorika yang memukau, berpidato di hadapan hadirin. Politikus sosialis itu mengungkapkan praktik-praktik penjajahan ratusan tahun lamanya yang dilakukan Belanda atas bumi dan manusia Indonesia. Betapa pejuang-pejuang nasionalis Indonesia terinspirasi dari perjuangan melawan penjajahan, semisal AS yang melawan kolonialisme Inggris silam.
Dampak pidato ini brilian. Dunia, termasuk AS, mengecam keras Belanda. Maka terbukalah internasionalisasi persoalan kedaulatan Indonesia. Persoalan Indonesia tidak lagi dianggap urusan dalam negeri Belanda.
Inilah yang memuluskan jalan bagi pengakuan kedaulatan RI oleh Belanda dua tahun kemudian (Desember, 1949, via Konferensi Meja Bundar).
Pada 27 Agustus 1947, Haji Agus Salim kembali ke Tanah Air. Berkat kepiawaiannya melobi-lobi para petinggi negara-negara Arab serta memimpin delegasi Indonesia di PBB, Presiden Sukarno menobatkannya sebagai “The Grand Old Man.”