REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelumnya, telah dijelaskan bagaimana saat itu presiden Serbia Slobodan Milošević dan tokoh nasionalis Kroasia Franjo Tuđman menggelar perundingan rahasia. Keduanya bertujuan mencaplok wilayah Bosnia-Herzegovina, dengan jalan mengusung isu etnisitas.
Celah yang dimanfaatkannya adalah sentimen di tengah masyarakat majemuk negara tersebut. Warga setempat umumnya terdiri atas tiga etnis dominan, yakni Bosniak, Serbia, dan Kroasia. Yang pertama kebanyakan memeluk Islam, sedangkan dua yang terakhir berturut-turut Kristen Ortodoks dan Katolik.
Sejak Mei 1992, para pasukan Serbia mengepung ibu kota Bosnia-Herzegovina, Sarajevo. Mereka dipimpin Jenderal Ratko Mladic. Pada 5 Februari 1994, tentara Serbia membantai 68 warga sipil Sarajevo serta mencederai 200 orang lainnya.
Para tawanan digiring ke sejumlah kamp konsentrasi. Tindakan keji itu sempat direkam media internasional, sehingga tersebarlah bobroknya moral Ratko Mladic dan gerombolannya ke penjuru dunia.
Bagaimanapun kerasnya kecaman yang datang, kenekadan Mladic tidak juga surut. Pada Maret 1994, Amerika Serikat (AS) memediasi upaya perdamaian antara faksi-faksi di Bosnia-Herzegovina.
Kubu Kroasia dan Bosnia sempat menurut, tetapi kubu Serbia bersikeras menolak. Memasuki tahun 1995, negosiasi yang sesungguhnya baru dapat terjadi.
Toh di lapangan militer, Serbia tetap berulah. Pada 8 April 1995, mereka menembaki pesawat pengangkut bantuan kemanusiaan yang seharusnya sampai pada para pengungsi Bosnia.
Baca juga: Latar Terjadinya Perang Bosnia (2)
Pada 26 Mei 1995, tentara Serbia juga kembali mengebom Sarajevo. NATO (negara-negara sekutu AS) membalas tindakan ini dengan memborbardir basis pertahanan Serbia.
Serbia justru lebih nekad lagi. Tentara Serbia lantas menculik lebih dari 350 personil pasukan keamanan PBB yang beroperasi di Bosnia-Herzegovina. Empat bulan lamanya ketegangan terus berlangsung, sementara proses negosiasi yang ditaja AS berlangsung alot.