REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para penyelam mengais rezeki di bangkai kapal yang terbakar di Pelabuhan Samudera Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara, dengan mencari alat yang tersisa dan masih layak digunakan.
Hal itu terlihat pada aktivitas menjelang Senin sore di Dermaga Timur, Pelabuhan Muara Baru, Jakarta Utara. Saat itu suasana agak sepi. Heri Kiswanto (35) bersiap menyelam untuk mengangkat baling-baling kapal yang pada Sabtu (23/2) terbakar.
Beruntung kapal masih bersandar di dermaga. Kalau tenggelam, misalnya, nasibnya akan lain. Karena itu, memerlukan keahlian untuk mengangkat suku cadang atau puing kapal di dalam air. Itu bukan pekerjaan mudah.
Itulah bedanya penyelam wisata dengan profesi penyelam panggilan. "Ya ampun, air lautnya hitam banget," ujar Heri Kiswanto seraya mengamati area yang akan diselaminya.
Menurut dia, hitamnya air laut setelah terjadinya kebakaran karena telah bercampur dengan bahan bakar minyak (BBM) jenis solar. "Kalau begini, harus pakai insting, percuma juga pakai senter," katanya.
Ia mengatakan risiko mengangkat baling-baling kapal tak dapat diprediksi kendalanya. Penyelam harus dapat memperhitungkan berbagai kemungkinan dan sigap mengantisipasi segala hal buruk dengan kecepatan tinggi.
Dalam melakukan penyelaman, Heri Kiswanto bersama teman-temannya menggunakan kompresor yang biasa digunakan tukang tambal ban untuk mengisi udara sebagai alat bantu pernafasan ketika menyelam.
"Ada selang udara, kompresor, filter dan 'mouthpiece'. Insa Allah aman, saya juga ikut pelatihan menyelam," katanya seraya menunjukkan kartu lisensi selam dari "Internasional Scuba Open Circuit".
Dalam melakukan penyelaman, dia menjelaskan, tubuh harus turun secara perlahan. Udara yang masuk dari kompresor melalui selang juga harus diatur. Setelah baling-baling kapal terangkat, tugas Heri dan kawan-kawan selesai. Perusahaan atau pemilik kapal biasanya menjual bagian-bagian kapal yang sudah didaratkan.
"Mungkin dijual lagi, kalau masih bagus kan juga bisa jadi suku cadang kapal lainnya," ujarnya.
Heri mengaku, profesi sehari-harinya adalah memperbaiki lambung kapal yang bocor. "Kebocoran harus di tambal dari dua sisi, dari dalam kapal dan luar. Harus teliti sehingga presisi," ujar dia.
Sementara itu, Zainudin (45) yang juga berprofesi sama dengan Heri Kiswanto mengaku khawatir pendapatan akan berkurang. "Sebelum terjadi kebakaran kapal, kapal yang singgah di sini banyak, pasti ada saja kerjaannya," katanya.
Namun ia tetap bersyukur dari profesinya itu cukup memenuhi kebutuhan hidup keluarganya serta membiayai pendidikan anaknya