Selasa 26 Feb 2019 08:57 WIB

Katanya Kepala Daerah Harus Netral, Kok Deklarasi Dukungan?

Sekab menyebut wajar kepala daerah deklarasi dukungan ke salah satu paslon capres.

Rep: Dessy Suciati Saputri, Bowo Pribadi, Ronggo Astungkoro/ Red: Karta Raharja Ucu
Petugas sortir dan lipat surat suara menunjukan surat suara yang terdapat kerutan di surat suara Pilpres, di Gudang Logistik KPU Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa(19/2/2019).
Foto: Antara/Adeng Bustomi
Petugas sortir dan lipat surat suara menunjukan surat suara yang terdapat kerutan di surat suara Pilpres, di Gudang Logistik KPU Kota Tasikmalaya, Jawa Barat, Selasa(19/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyatakan pemerintah tak ikut campur dalam persoalan dugaan pelanggaran pemilu yang dilakukan kepala daerah ataupun camat yang diproses Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Ia menuturkan, pemerintah menyerahkan proses kasus-kasus terkait netralitas kepala daerah dan Aparatur Sipil Negara (ASN) kepada Bawaslu.

"Ini negara demokrasi, Bawaslu pu nya kewenangan. Tentunya kalau Bawaslu mau ambil keputusan, silakan Bawaslu. Kita tidak akan campur tangan terhadap hal tersebut. Nanti kalau campur tangan dibilang intervensi," ujar Pramono di kantornya, Jakarta, Senin (25/2).

Pramono berpendapat, wajar jika ada kepala daerah yang melakukan deklarasi dukungan terhadap salah satu pasangan calon. Namun, perlu diingat, deklarasi oleh kepala daerah ini harus tidak melanggar peraturan dan undang-undang yang berlaku serta tak menggunakan fasilitas negara.

"Selama dukungan itu dilakukan dengan sukarela, tak melanggar peraturan perundang-undangan, tak di bawah tekanan, tak menggunakan fasilitas negara, dilakukan di luar jam kerja, sah-sah saja," ujar dia.

Politikus PDIP ini mengatakan, jabatan kepala daerah merupakan jabatan politik. Karena itu, kepala daerah memiliki hak untuk memberikan dukungan dalam pemilu. Namun, Pramono menegaskan, dukungan itu dideklarasikan tanpa melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Seskab meminta deklarasi dukungan kepala daerah untuk salah satu pasangan calon tidak dipermasalahkan. Misalnya, dukungan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo bersama sejumlah kepala daerah di Provinsi Jateng.

"Tak usah dirisaukan apa yang terjadi di Jateng, dan beberapa tempat. Toh, kenyataannya aturan tentang Kepala daerah ini sudah sangat jelas," ucap Pramono. Ia juga mempersilakan Bawaslu untuk menindaklanjuti jika kepala daerah melakukan pelanggaran.

photo
Sekretaris Kabinet Pramono Anung.
"Kalau memang ada kesalahan, silakan. Kalau enggak ada kesalahan, jangan dicari-cari," ujar Pramono.

Di Jateng, Bawaslu setempat sudah meneruskan hasil penanganan dugaan pelanggaran pemilu 31 kepala daerah untuk ditindaklanjuti Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Sebab, Bawaslu hanya menemukan unsur dugaan pelanggaran etika kepala daerah yang diatur dalam UU tentang Pemda. Mereka tidak menemukan unsur pelanggaran pemilu.

Koordinator Divisi Humas dan Hubungan Antarlembaga Bawaslu Provinsi Jawa Tengah, Rofiudin, mengatakan, keputusan ini berdasarkan kajian dari berbagai aspek dan investigasi ke lapangan untuk mengambil data, sampai bukti. "Kami menduga memang ada ketidakpatuhan kepala daerah dengan UU Pemerintah Daerah karena menyebut dirinya sebagai kepala daerah," ucap dia saat dikonfirmasi di Semarang, Senin (25/2).

Maka, jelas Rofiudin, ketika kemudian ada dugaan pelanggaran terhadap perundang-undangan lainnya, sesuai dengan Pasal 455 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, maka Bawaslu meneruskan kepada pihak lain yang lebih berwenang, dalam hal ini Kemendagri. "Senin (25/2) Bawaslu berkirim surat secara resmi kepada Kemendagri untuk mene rus kan hasil kajian Bawaslu selama be berapa pekan terakhir terkait dengan dugaan pelanggaran tersebut," katanya.

Di tempat terpisah, Gubernur Jateng Ganjar Pranowo membantah melakukan pelanggaran saat deklarasi dukungan untuk paslon nomor urut 01, Joko Widodo-KH Ma'ruf Amin. Ganjar mengklaim sudah menaati aturan, seperti menggunakan hari Sabtu dan tidak mengatasnamakan kepala daerah dalam deklarasi tersebut.

Politikus PDIP tersebut menegaskan, langkah yang dilakukan Bawaslu terkait dugaan pelanggaran etika telah melampaui kewenangan mereka. "Karena pelanggaran etika UU Pemda itu bukan kewenangan Bawaslu Provinsi Jawa Tengah, namun Kementerian Dalam Negeri," ucap mantan anggota DPR ini.

Ganjar juga mengaku dirugikan atas pernyataan Bawaslu terkait dengan putusan pelanggaran etika 31 kepala daerah di Jawa Tengah. Untuk itu, ia pun meminta agar Bawaslu Provinsi Jawa Tengah bisa lebih profesional dalam menangani berbagai laporan terkait dengan dugaan pelanggaran pemilu.

photo
Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo
"Karena ini sudah menjadi diskursus di tingkat publik dan merugikan saya, maka saya minta Bawaslu profesional sedikit dong," kata Ganjar, Senin (25/2).

Ia mengaku, Bawaslu telah menyampaikan ke publik perihal hasil pemeriksaan atas laporan dugaan pelanggaran pada deklarasi dukungan kepada capres nomor urut 01 di Solo. Tapi, ia belum menerima salinan putusan yang dimaksud kendati beberapa kali sudah berupaya untuk menghubungi Bawaslu.

"Saya juga sudah kontak-kontakan dengan Rofiudin, apakah saya bisa mendapatkan hasil pleno Anda? Jawabannya bisa. Bagaimana caranya. Sampai saat ini belum dijawab," kata Ganjar.

Selain itu, Ganjar juga menyoal bukti pemeriksaan Bawaslu berupa sebuah potongan video dari vlog pribadinya saat acara yang dipersoalkan di Solo berlangsung. Menurut Ganjar, pemotongan video tersebut tidak tepat yang akhirnya justru memicu banyak penafsiran. Misalnya, ketika pemotongan diksi pada satu bagian video vlog tersebut tidak tepat.

"Saya yakin saya tidak melanggar. Kita sudah memilih hari Sabtu, undangan pun tidak ada yang mengatasnamakan bupati atau wali kota, namun atas nama pribadi," katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement