Selasa 26 Feb 2019 13:31 WIB

Komitmen Islam dalam Pemberantasan Korupsi (4)

Alquran dan sunnah melarang gratifikasi.

Salah satu pamflet tentang bahaya korupsi (ilustrasi).
Foto: Antara
Salah satu pamflet tentang bahaya korupsi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tiga ayat lainnya di dalam Alquran yang relevan membahas pemberantasan korupsi adalah surah al-Maidah ayat 42, 62, dan 63. Ketiganya menyebut persoalan “makan yang haram” (akl as-suht).

Bahkan, dalam dua ayat yang belakangan Allah SWT menegaskan “amat buruk apa yang mereka telah kerjakan.” Subjek “mereka” adalah dalam ayat ke-62 adalah “kebanyakan dari orang-orang Yahudi (yang) bersegera dalam berbuat dosa, permusuhan, dan memakan yang haram”. Adapun dalam ayat berikutnya, subjeknya adalah “orang-orang alim atau pendeta-pendeta dari kalangan orang-orang Yahudi yang tidak melarang mereka dalam mengucapkan perkataan bohong dan memakan yang haram.”

Baca Juga

Dengan demikian, firman Allah SWT itu menekankan perbedaan antara orang yang mengetahui dan yang kurang mengetahui. Ibn Mas’ud (wafat 652) memandang as-suht sebagai “menjadi perantara dengan menerima imbalan antara seseorang dan penguasa untuk suatu kepentingan.”

Sementara itu, Khalifah Umar bin Khaththab mengemukakan pengertian yang serupa, yakni as-suht merujuk pada seseorang yang berpengaruh di lingkungan kekuasaan; orang itu kemudian menjadi perantara dengan menerima imbalan bagi orang lain yang berkepentingan; alhasil, penguasa tadi meloloskan keperluan orang yang memberi imbalan itu.

Maka, di dalam as-suht selalu ada penyalahgunaan kewenangan untuk memperkaya diri sendiri dan/atau orang lain dengan menerima imbalan atas perbuatannya. Dalam istilah kekinian, as-suht adalah menerima gratifikasi.

Gratifikasi diharamkan dalam Islam. Ada hadits Nabi SAW terkait hal itu, yakni “Dari Abu Humaid as-Sa’idi (diriwayatkan) bahwa Rasulullah SAW bersabda, ‘Pemberian hadiah kepada para pejabat adalah korupsi (ghulul).’”

Hadiah itu bersifat haram karena berkaitan dengan jabatan yang dipegang si penerimanya. Tidak ada masalah bila hadiah diberikan oleh seseorang atas dasar apresiasi kepada orang lain yang bukan pejabat.

Baca juga: Komitmen Islam dalam Pemberantasan Korupsi (5)

sumber : Islam Digest Republika
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement