REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Dalam Negeri memastikan sosialisasi terkait pencantuman kolom penghayat kepercayaan dalam Kartu Tanda Penduduk (KTP) sudah dilakukan sejak 2017. Hal itu diperkuat setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan uji materi dalam UU yang menyebutkan warga wajib mencatumkan agama pada KTP-nya.
Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh, menjelaskan sebelum adanya penegasan dari MK pun, pemerintah sudah mengakui adanya penghayat kepercayaan. Menurutnya, dalam UU Administrasi Kependudukan pun sudah disebutkan bahwa penghayat diakui dan didata serta dicatat identitasnya dalam basis data kependudukan.
"Jadi salah kalau katakan penghayat baru diakui sekarang. Oh tidak, dari dulu datanya sudah masuk dalam database. Kemudian diperkuat dengan putusan MK tahun 2017 lalu, keluar putusan. 2018 kami implementasikan," kata Zudan di Istana Negara, Selasa (26/2).
Ia menambahkan, dalam kolom penghayat kepercayaan pun bukan ditulis organisasi kepercayaannya seperti Parmalim atau Sunda Wiwitan. Yang dicantumkan di KTP adalah penulisan 'Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa'.
"Kepercayaannya hanya satu. Kepercayaan terhadap Tuhan YME. Kalau organsiasi ada Parmalim, Sunda Wiwitan, itu nama organisasinya. Bukan itu yang dituliskan," katanya.
Hingga saat ini, Kemendagri mencatat adanya 138 ribu orang penghayat kepercayaan di seluruh Indonesia. Meski begitu, Zudan mengaku pihaknya tidak merangkum berapa jumlah KTP bertuliskan penghayat kepercayaan yang sudah dicetak. Menurutnya, penulisan hal tersebut bukan sesuatu yang istimewa karena memang pengakuan terhadap mereka sudah dilakukan sejak dulu.
"Ini hal biasa bukan hal khusus dan istimewa. Orang yang updating data kependudukan. Seperti ganti status dari bujang menjadi menikah. Hal yang biasa. Karena dala database tercatat," katanya.