REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kota 'Seribu Satu Malam' ini terletak di dataran yang subur di Irak. Sejak tahun 762 Masehi, Baghdad merupakan pusat Dinasti Abbasiyah hingga lima abad berikutnya.
Kota ini segera menjadi pusat peradaban yang kosmopolit dan cikal-bakal modernitas. Beberapa institusi pendidikan yang berdiri pada masa itu adalah Universitas Baghdad, Universitas al-Hikmah, dan Universitas al-Muntasyiriyah. Demikian Ensiklopedi Islam memaparkan.
Khalifah kedua Dinasti Abbasiyah, Abu Ja’far al-Mansur, sudah memiliki visi pembangunan Baghdad. Pada mulanya, Baghdad hanyalah kawasan periferi. Sebelum memutuskan Baghdad sebagai ibukota, al-Mansur mengirimkan sejumlah pakar untuk meneliti keadaan geografis dan sosial wilayah tersebut.
Denah awal kota ini berbentuk lingkaran yang dikelilingi tembok selebar 50 hasta dengan tinggi 90 kaki. Di luarnya dijaga dengan parit yang dalam. Ada empat gerbang utama sebagai pintu masuk ke kota-benteng ini.
Para khalifah Abbasiyah sepeninggalan al-Mansur berlomba-lomba memperindah Baghdad. Tidak mengherankan bila pada 800 Masehi, Baghdad menjadi kota unggul tempat peradaban-peradaban global bertemu dan bertukar informasi.
Jumlah penduduk Baghdad pada masa itu mencapai lebih dari satu juta jiwa. Hal itu menjadikannya kota modern yang mendahului zamannya, bila dibandingkan dengan “kota-kota” lain di Asia maupun Eropa.
Puncak Kejayaan Baghdad
Era keemasan Baghdad berlangsung dalam masa pemerintahan Sultan Harun al-Rasyid (786-809) dan Khalifah al-Ma’mun (813-833). Sultan Harun al-Rasyid mendirikan pusat peradaban atau perpustakaan Bait al-Hikmah, yang tetap bertahan hingga abad ke-13 Masehi.
Sebelum dihancurkan serbuan balatentara Mongol pada 1258, Bait al-Hikmah merupakan pusat transfer ilmu pengetahuan dari pelbagai penjuru dunia, utamanya Yunani, Suriah, India, dan Persia. Para sarjana yang bekerja dan menggelar aktivitas di sana memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan yang menjadi dasar sains dan filsafat modern.
Mereka menerjemahkan teks-teks keilmuan dari pelbagai bangsa ke dalam bahasa Arab—yang kemudian menjadi rujukan peradaban Barat modern “menemukan kembali” peradaban Yunani Kuno. Cakupan keilmuan yang berkembang di Bait al-Hikmah merentang luas, antara lain, mulai matematika, kedokteran, kimia, biologi, kartografi/geografi, astronomi, hingga pemikiran serta kalam.
Dalam masa kekuasaan putra Sultan Harun al-Rasyid, Khalifah al-Ma’mun, Bait al-Hikmah kian cemerlang. Lembaga penerjemahan teks-teks asing berubah menjadi perguruan tinggi. Istana khalifah, rumah para terpelajar, masjid, serta perpustakaan di Baghdad menjadi lokasi yang didatangi para sarjana dari pelbagai negeri.
Baghdad menjadi ramai oleh cendekiawan-cendekiawan yang berwawasan global. Bahkan, sang khalifah ikut terlibat langsung dalam aktivitas keilmuan. Para sarjana yang aktif di Bait al-Hikmah mendapatkan dukungan finansial dari istana. Kemajuan semakin nyata setelah kekhalifahan Islam tersebut mengadopsi pengetahuan tentang pembuatan kertas dari Cina.
Dengan demikian, karya-karya terjemahan dapat diabadikan, bukan sekadar gulungan daun papirus lagi. Terjemahan ini mencakup karya-karya para pemikir Yunani Kuno, utamanya Aristoteles, Phytagoras, Hippocrates, Plato, Socrates, dan Euclid.
Untuk menyebutkan beberapa nama ilmuwan Muslim yang aktif di Bait al-Hikmah. Di antaranya adalah pakar matematika sekaligus penggagas Aljabar dan algoritma, Ibn al-Khawarizm. Dia pula yang memperkenalkan konsep angka nol, yang diadopsinya dari sistem bilangan Hindi. Selain itu, ada Bapak Ilmu Optik Modern, Ibnu al-Haytami.
Setelah Baghdad hancur akibat serangan Hulagu Khan pada 1401 dan Timurlenk, Dinasti Khan menguasai kota tersebut hingga satu abad berikutnya. Namun, ada hikmah di balik penyerbuan itu karena menjadi jalan bagi Islamisasi orang-orang Turk.