REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam era Khalifah al-Hakam II, Universitas Kordoba mengalami perkembangan yang signifikan. Bahkan, lembaga tersebut menjadi perguruan tinggi yang paling disegani di seantero Eropa masa itu—sebanding dengan Universitas al-Azhar di Kairo atau Universitas Nizamiyah di Baghdad.
Banyak pelajar dari berbagai wilayah Eropa, Afrika Utara, serta Asia, datang untuk menimba ilmu di sini. Apalagi, kampus itu terbuka kepada baik Muslim maupun non-Muslim. Salah satu tokoh Kristen yang ikut belajar di sini adalah Gerbert d’Aurillac (945-1003), yang kelak menjadi Paus Sylvester II.
Di sekitar Kordoba juga terdapat Madinah az-Zahra, yakni sebuah kompleks kota-benteng yang menakjubkan. Pembangunannya bermula pada 936 Masehi atau dalam masa Khalifah Abdur Rahman III. Perlu waktu 25 tahun lamanya hingga Madinah az-Zahra selesai dengan sempurna.
Lokasinya berada sekitar lima kilometer dari pusat kota Kordoba. Secara arsitektur, penampaknya mencontoh istana Diansti Umayyah klasik di Damaskus. Hal itu seakan-akan bermakna, sang khalifah hendak mencari akar budayanya ke Suriah. Baru pada 947 Masehi, pusat pemerintahan mulai pindah ke Madinah az-Zahra dari Kordoba. Di puncak kemakmurannya, Madinah az-Zahra berpenduduk sekira 12 ribu jiwa.
Di dalamnya lengkap dengan bangunan-bangunan indah, taman-taman dengan sistem irigasi yang handal, serta tentu saja istana sang khalifah. Dalam perspektif modern, Madinah az-Zahra merupakan sebuah kawasan hunian urban. Setengah abad lamanya kota-benteng ini berdiri kokoh. Sebab, mulai 1010 hingga tiga tahun kemudian, perang saudara melanda.
Beberapa ilmuwan Muslim pada zaman keemasan Kordoba antara lain pakar ilmu medis al-Zahrawi (wafat 1013). Orang Eropa menyebutnya Abulcasis (berasal dari panggilannya, Abu al-Qasim). Dia dikenal sebagai Bapak Ilmu Bedah di dunia kedokteran. Karyanya yang paling terkemuka adalah Kitab al-Tasrif, yang merupakan ensiklopedia tentang praktik-praktik bedah medis.