REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, menyebutkan apa pertimbangan untuk memasukkan perwira TNI aktif ke kementerian lembaga. Pertimbangannya adalah untuk memberikan peluang kepada orang potensial agar bisa memberikan pengabdian yang maksimal ke negeri ini.
"Semata-mata memberikan suatu peluang kepada orang-orang yang potensial untuk bisa memberikan pengabdian yang maksimal kepada negeri ini. Pertimbangannya itu sebenarnya, tapi ini tentu butuh proses, begitu," ujar Wiranto di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Rabu (27/2).
Menurutnya, perlu ada suatu pemikiran yang lebih mendalam lagi untuk menyikapi hal tersebut. Terlebih dengan adanya kekhawatiran masyarakat di mana timbul ketidakpahaman, sehingga membuat kecurigaan akan timbulnya kembali dwifungsi TNI. Ia mengatakan, kebijakan yang akan diambil tidak mengarah ke sana.
"Perlu ada satu pemikiran yang lebih mendalam lagi untuk menyikapi kekhawatiran masyarakat. Di mana ada ketidaktahuan sehingga belum-belum sudah ada kecurigaan ada dwifungsi ABRI, ada dwifungsi TNI, tapi kan tidak mengarah ke sana," tuturnya.
Sebelumnya, Ombudsman RI melihat rencana memasukkan perwira aktif TNI ke jabatan di kementerian berpotensi maladministrasi. Kebijakan tersebut akan menabrak peraturan perundang-undangan yang ada saat ini.
"Kami memandang ini akan sekaligus melanggar kalau ada rencana penempatan prajurit ke jabatan aparatur sipil negara (ASN)," ungkap anggota Ombudsman RI, Ninik Rahayu, di kantornya, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (21/2).
Ia menjelaskan, sebenarnya pintu masuk prajurit untuk masuk ke wilayah sipil sudah ditutup rapat-rapat melalui peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan itu, yakni Undang-undang (UU) No. 34 tahun 2004 tentang TNI, UU No. 5 tahun 2014 tentang ASN, dan Peraturan Pemerintah No. 11 tahun 2017 tentang Manajemen ASN.
"Jabatan apa pun di bidang ASN itu meminta persyaratan, prajurit harus undur diri. Bahkan tidak bisa kembali kalau pada proses rekrutmen tersebut kemudian dia tidak diterima (ada di pasal 47 UU TNI)," ujar Ninik.
Jika melihat pasal 39 UU TNI, kata dia, prajurit dilarang masuk ke dalam beberapa kegiatan yang berkaitan dengan politik. Kegiatan itu, yakni kegiatan menjadi anggota partai politik, kegiatan politik praktis, kegiatan bisnis, dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.
"Maka dalam waktu dekat Ombudsman akan mengundang untuk mendalami potensi maladministrasi. Kami kan sayang juga dengan TNI. Jangan sampai ada penyalahgunaan wewenang dan buat prosedur dalam buat kebijakan ini," jelas dia.
Sebelumnya, Panglima TNI, Marsekal Hadi Tjahjanto, sedang mencari cara untuk mengatasi adanya 500-an perwira menengah (pamen) yang tidak memiliki jabatan saat ini. Salah satunya, pihaknya sedang merevisi UU TNI, khususnya Pasal 47 agar pamen dan pati TNI bisa berdinas di lembaga negara.
"Kita menginginkan bahwa lembaga/kementerian yang bisa diduduki oleh TNI aktif itu eselon satu eselon dua tentunya akan juga menyerap pada eselon eselon di bawahnya sehingga Kolonel bisa masuk di sana," kata Hadi di Mabes TNI Cilangkap, Rabu (31/1) lalu.
Hadi menambahkan, agar pamen TNI bisa menduduki jabatan di kementerian, tentu harus menunggu aturan. Dia pun berharap, langkah-langkah itu akan bisa mengurangi masalah ratusan pamen yang sekarang tidak memiliki jabatan.
"Tapi ini masih harus menunggu revisi Undang-Undang 34 Tahun 2004 yang jelas untuk perubahan kelas itu kita hanya mengeluarkan Perpres karena sudah ada Keppres-nya, paling tidak sudah akan berkurang dari 500 yang disampaikan tadi bisa sampai 150 sampai 200 (kolonel), mudah-mudahan," kata Hadi.