Kamis 28 Feb 2019 00:19 WIB

Bacakan Pleidoi, Billy Sindoro Mengaku Depresi Berat

Billy Sindoro dituntut lima tahun penjara dalam kasus Meikarta.

Rep: Djoko Suceno/ Red: Andri Saubani
Terdakwa kasus suap Meikarta Billy Sindoro (kanan) bersama terdakwa lainnya menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor Bandung, Jl LRE Martadinata, Kota Bandung, Kamis (21/2).
Foto: Republika/Edi Yusuf
Terdakwa kasus suap Meikarta Billy Sindoro (kanan) bersama terdakwa lainnya menjalani sidang tuntutan di Pengadilan Tipikor Bandung, Jl LRE Martadinata, Kota Bandung, Kamis (21/2).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Billy Sindoro, dan tiga rekannya yang didakwa sebagai pemberi suap dalam perizinan proyek Meikarta menyampaikan pleidoi (pembelaan)  dalam sidang di Pengadilan Tipikor Bandung, Rabu (27/2). Dalam pembelannya, Billy menyatakan, fakta persidangan tidak membuktikan dirinya secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan kepada dirinya.

Billy memohon kepada Majelis Hakim yang dipimpin Judijanto Hadi Lesmana untuk membebaskannya dari semua dakwaan penuntut umum. Terdakwa dalam pembelaannya mengaku sangat kaget dan mengalami depresi berat karena tuntutan lima tahun penjara. Menurutnya, tuntutan itu di luar dugaan dan di luar nalarnya.

"Tuntutan tersebut tidak adil, terlalu berat dan tidak berdasar. Saya mohon Majelis Hakim mencermati fakta persidangan secara utuh dan memberikan putusan yang adil dan tidak membuat saya serta keluarga menderita atas perbuatan yang tidak pernah saya lakukan," tutur dia.

Billy  menambahkan, dakwaan penuntut umum yang menyatakan dirinya terkait dengan pemberian uang melalui Fitradjaja Purnama dan Hendry Jasmen adalah tidak benar. Pun soal dakwaan keterlibatan dirinya mengatur perizinan proyek Meikarta.

"Itu tidak benar dan saya tidak sependapat. Dakwaan hanya didasarkan dugaan dan asumsi karena saya tidak melakukan perbuatan sebagaimana diuraikan dalam surat dakwaan. Saya tidak pernah memimpin pertemuan maupun pengurusan izin karena hal itu bukan kualifikasi dan passion saya. Selain itu saya bukan eksekutif di Meikarta. Saya adalah advisor untuk Siloam Hospitals," tutur dia.

Billy juga memohon Majelis Hakim agar mencermati proses persidangan yang tidak pernah membuktikan adanya "Tim Pusat" (Tim Billy Sindoro) yang mengambil alih pengurusan izin Meikarta. Ia pun memohon hakim mencermati pertemuannya dengan Fitradjaja Purnama dan Hendry Jasmen maupun Edi Dwi Soesianto hanya sekedar obrolan biasa, bukan memimpin rapat tentang perizinan Meikarta.

"Bahwa pertemuan saya dengan Bupati Neneng Hasanah Yasin juga tidak bisa dibuktikan di persidangan sebagai upaya mengatur dan memperlancar perizinan Meikarta. Pertemuan kami hanya membicarakan CSR Siloam Hospitals," ujar dia.

Lebih lanjut, Billy meminta Majelis Hakim mengkaji soal 53 saksi yang dihadirkan, di mana tidak ada satu pun saksi yang menguatkan dakwaan tentang pemberian uang maupun janji. Fakta persidangan, kata Billy, hanya membuktikan Fitradjaja Purnama, Hendry Jasmen dan Taryudi yang melakukan perbuatan sesuai dakwaan akibat adanya pemerasan.

"Tentang dakwaan pemberian uang Rp 16,2 miliar dan 270 ribu dolar Singapura pun dalam persidangan terungkap saya tidak memiliki kaitan. Saya tidak memberikan uang maupun janji. Tentang pemberian uang Rp 10,5 miliar maupun total Rp 16,2 miliar, para saksi juga menyatakan tidak pernah berkomunikasi dengan saya sehingga sangat jelas dan tegas saya tidak memiliki kaitan dengan semua uang dan janji itu," tutur dia.

Terkait dengan sumber uang, Billy juga memohon Majelis Hakim mencermatinya, sebagaimana dijelaskan Fitradjaja Purnama dalam BAP "sudah dianulir". Firradjaja menegaskan, sumber uang itu sebagai nalar tanpa bukti yang jelas. Sementara itu Hendry Jasmen menjelaskan sumber uangnya adalah seorang pengusaha di Surabaya yang juga dikenal oleh Fitradjaja.

Dengan semua fakta yang diuraikannya, Billy memohon kepada Majelis Hakim agar membebaskannya dari dakwaan. Ia pun menyinggung soal usianya yang sudah menginjak 60 tahun, di mana saat ini ia lebih fokus pada pengabdian di bidang kerohanian.

"Saya akan sedih dan tertekan membayangkan ribuan orang yang sangat mengharapkan pelayanan saya. Saya sudah bertekad di sisa umur saya untuk membantu program pemerintah khususnya dalam bidang pengentasan kemiskinan dan kebodohan antara lain dengan menggerakkan bantuan dari komunitas di dalam dan luar negeri untuk mendukung program kemanusiaan di tanah air kita. Saya juga tentu ingin bersama dan melayani keluarga saya yang kini sedang bertumbuh dengan keluarga mereka masing-masing," paparnya.

Dalam pleidoinya, Billy juga meminta hakim bisa memahami mengapa dirinya tidak dapat mengakui kesalahan. Menurutnya, hal itu sangat berlawanan dengan nuraninya. Billy menyebut dirinya bukan seseorang yang terkena Operasi Tangkap Tangan.  Dugaan keterlibatannya hanyalah didasarkan keterangan saksi.

"Oleh karena itu saya mohon Majelis Hakim dapat memutuskan dengan adil dan membebaskan saya,’’ kata dia.

Billy Sindoro sebelumnya dituntut hukuman lima tahun penjara. Tuntutan terhadap Billy dibacakan Jaksa KPK dalam sidang di Pengadilan Tipikor Bandung, Kamis (21/2).

Jaksa juga menuntut terdakwa dengan denda Rp 200 juta subsider enam bulan penjara. Jaksa meyakini terdakwa melanggar Pasal 5 huruf b UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Menurut jaksa, terdakwa Billy terbukti memberikan suap kepada Bupati Bekasi nonaktif, Neneng Hassanah dan stafnya untuk memuluskan perizinan proyek Meikarta. Jaksa menyebut uang yang mengalir ke Neneng dan staf Pemkab Bekasi sebesar Rp 16.182.020.000 dan 270 ribu dolar Singapura.

"Menuntut supaya majelis hakim yang mengadili dan memeriksa perkara ini, menyatakan terdakwa Billy Sindoro terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama dan berlanjut," ujar Jaksa KPK, Yadyn dalam tuntutannya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement