REPUBLIKA.CO.ID, PURWAKARTA -- Kementerian Pertanian mengklaim kasus penyelewengan pupuk bersubsidi selama 2018 mengalami penurun. Meski demikian, kasus tersebut masih terjadi di sejumlah daerah. Seperti, di luar Jawa. Pada 2019 ini, pemerintah berupaya meningkatkan pengawasan untuk mengantisipasi penyelewengan pupuk bersubsidi.
Dirjen Sarana dan Prasarana Kementerian Pertanian Sarwo Edi, mengatakan, dilihat dari sisi kasus, ada penurunan penyelewengan. Namun, kasus ini masih ada dan terjadi di daerah lain. Salah satu upaya untuk menekan penyelewengan pupuk bersubsidi ini, dengan memberikan reward and punishment terhadap distributor dan kios.
"Karena, distributor sampai pengecer ini, merupakan ujung tombak distribusi pupuk bersubsidi," ujar Sarwo, pada acara penandatanganan surat perjanjian jual beli (SPJB) dengan distributor dan kios pupuk se Jabar, di Purwakarta, Rabu (27/2).
Karena itu, Sarwo mengingatkan pada distributor dan pemilik kios yang hadir, supaya tidak macam-macam dengan pupuk bersubsidi. Apalagi, jika ada niatan untuk mengoplos pupuk atau mengganti karung kemasan pupuk bersubsidi ke karung ekonomis. "Itu, jelas menyalahi hukum," tegasnya.
Ancamannya juga berat. Sebab, pelaku akam berhadapan dengan aparat penegak hukum. Mengingat, sambung Sarwo, dalam satu kilogram pupuk yang biasa diterima petani, ada subsidi pemerintah yang cukup besar.
Saat ini, petani membeli pupuk seharga Rp 1.800 per kilogram. Padahal, harga asli dari pupuk itu mencapai Rp 4.500 per kilogram. Berarti, ada uang subsidi sebesar Rp 2.700 dari satu kilogram pupuk. Ini, yang harus dijaga oleh semua pelaku usaha pupuk di Indonesia.
Selain itu, Sarwo juga mengingatkan kepada ratusan undangan yang hadir, jika menyalahgunakan pupuk bersubsidi ini, tak hanya akan berhadapan dengan hukum di dunia. Namun, akan ada pembalasannya juga di akhirat nanti.
"Makanya, saya ingatkan kepada distributor atau pemilik kios resmi, untuk hidup lebih baik. Bisa menjaga amanah. Karena hidup hanya sekali. Jadi, saya tegaskan jangan coba-coba menyelewengkan pupuk bersubsidi," ujarnya.
Dikatakan Sarwo, tahun ini pemerintah berupaya untuk lebih memerhatikan nasib petani. Salah satunya, dengan meningkatkan alokasi anggaran untuk subsidi pupuk. Adapun alokasinya, mencapai Rp 29 triliun.
Dengan besarnya alokasi untuk subsidi pupuk ini, diharapkan kedepan tidak ada lagi kasus kelangkaan pupuk. Sehingga, petani bisa menanam bahan pangan, tanpa terkendala dengan stok pupuk. Sebab, pemerintah telah menjamin ketersediaan pupuknya.
"Untuk RDKK pupuk Januari dan Februari, yang kabarnya belum selesai, bisa menggunakan RDKK bulan yang sama di 2018 lalu. Kalau ada kekurangan atau kelebihan bisa realokasi," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Utama PT Pupuk Indonesia (Persero), Aas Asikin Idat, mengatakan, pupuk bersubsidi harus benar-benar disalurkan pada yang berhak. Karena itu, SPJB ini sangatlah penting. Supaya, subsidi pupuk ini bisa dirasakan oleh petani. Serta, punya nilai tepat manfaat.
"Tetapi, petani juga harus paham makna dari pupuk bersubsidi. Supaya, pupuk itu bisa digunakan tepat sasaran, manfaat dan takaran," ujar Aas.
Dalam kesempatan ini, Aas sangat mengapresiasi atas kinerja para distributor dan kios (pengecer). Sebab, kehadiran mereka semakin mendekatkan pupuk dengan petani.
Bahkan, merujuk pada Permentan 2018, stok pupuk itu harus tersedia minimalnya untuk kebutuhan dua pekan kedepan. Namun, saat ini stok pupuk cukup melimpah. Saat ini, stoknya mencapai 1,6 juta ton. Stok ini, bisa memenuhi kebutuhan pupuk untuk satu sampai 1,5 bulan ke depan.