REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dengan menyadari tiga kondisi jiwa (nafs), maka dirasakan perlu adanya penyucian jiwa (tazkiyatun nafs). Menurut Said Hawwa, tazkiyatun nafs pada hakikatnya menjauhkan diri dari kemusyrikan, yakni mengakui dengan setulus hati dan sebenar-benarnya tentang keesaan Allah SWT.
Tidak hanya itu, seseorang hendaknya meneladani akhlak Rasulullah SAW. Ada tiga fase yang mesti dilalui, yaitu tathahhur, tahaqquq, dan takhalluq.
Tahap pertama berarti memfokuskan hati dan pikiran hanya kepada Allah SWT. Kuncinya adalah zikir, baik secara lisan, batin, maupun perbuatan. Kepaduan zikir ini digambarkan dalam surah Ali Imran ayat 191. Di dalamnya, Allah menyinggung orang-orang yang mengingat-Nya baik dalam keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring. Mereka itu menyadari tanda-tanda kekuasaan Allah di langit dan bumi.
Tahap kedua dapat diartikan sebagai perwujudan sifat-sifat Allah yang mulia dalam aktivitas seorang Muslim. Semboyannya adalah "Berakhlak sebagaimana akhlak Tuhan." Misalnya, salah satu sifat Allah adalah ar-Rahmaan dan ar-Rahiim. Maka dari itu, seseorang hendaknya cenderung bersifat pengasih dan penyayang terhadap sesama.
Tahap ketiga adalah membiasakan akhlak-akhlak baik ke dalam kehidupan sehari-hari. Ini adalah puncak perwujudan disiplin diri, sehingga jiwa cenderung pada kondisi ideal, an-nafs al-muthma`innah. Demikianlah gagasan-gagasan sang salik, Said Hawwa.