REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Syekh Muhammad al-Ghazali bergabung dengan Ikhwanul Muslimin (IM). Tanda-tandanya memang sudah tampak sejak dirinya masih remaja. Dia gemar menghadiri kajian-kajian Syekh Hassan al-Banna.
Akan tetapi, urusan agama selalu lebih dipentingkannya di atas golongan-golongan. Pernah dikatakannya bahwa apabila Ikhwanul Muslimin berlawanan dengan Islam, maka kepentingan agama harus didahulukan dan organisasi tersebut dapat dibuang jauh-jauh.
Karier akademisnya merambah hingga ke luar negeri. Dalam periode 1974-1981, dia menetap di Arab Saudi sebagai pengajar pada beberapa kampus, termasuk Universitas Ummul Qura, Makkah. Selama di negara tersebut, jadwalnya padat lantaran mengisi pelbagai permintaan ceramah harian melalui siaran radio dan televisi. Pernah pula syekh ini menduduki jabatan staf khusus di Kementerian Wakaf.
Kiprahnya juga meluas ke negara-negara lainnya, baik di kawasan Arab maupun Eropa-Amerika. Di Qatar, dia berperan besar dalam mewujudkan fakultas syariah pada sejumlah kampus Islam. Hal serupa juga diterapkannya ketika membantu pemerintah Aljazair untuk mengembangkan lima fakultas di Universitas Amir Abdul Qadir, Qusnathinah (Constantine).
Di Kuwait, jadwal rutinnya menyampaikan ceramah keagamaan tiap bulan suci Ramadhan dalam forum-forum internasional. Di setiap negara, penguasa setempat selalu memperlakukannya sebagai tamu resmi. Dalam beberapa kasus, nasihat-nasihatnya kerap diminta sebelum suatu kebijakan diputuskan.
Pada 1988, pemerintah Mesir memberikan kepadanya bintang kehormatan sipil tertinggi. Pengakuan juga disampaikan pemerintah Aljazair yang menganugerahkan kepadanya bintang al-Atsir atas jasa-jasanya menggiatkan dakwah Islam. Raja Faishal dari Arab Saudi mengganjarnya dengan penghargaan internasional dalam bidang pengabdian terhadap Islam. Dialah orang Mesir pertama yang menerimanya.