REPUBLIKA.CO.ID, GORONTALO -- Presiden Joko Widodo menyatakan, pengendalian harga jagung pakan yang dihasilkan oleh para petani lokal menjadi pekerjaan yang tidak mudah. Sebab, sifat harga jagung pakan di Indonesia sangat tergantung kepada jumlah produksi dalam negeri.
Ketika produksi mengalami penurunan, harga serta merta merangkak naik dan menguntungkan petani. Sementara, disaat produksi berlebih harga seketika anjlok sehingga kerugian petani tidak terhindarkan.
"Produksi banyak, pasti harga turun. Itu hukum ekonomi. Tapi, petani mintanya tinggi terus. Inilah sulitnya. Pemerintah kendalikan ini tidak mudah," kata Presiden dalam dialog bersama para petani jagung di Desa Botuwumbato dan Desa Motilango, Provinsi Gorontalo, Jumat (1/3).
Terlepas dari fluktuasi harga itu, pemerintah, ujar Jokowi, menginginkan agar produksi jagung nasional terus mengalami peningkatan. Menurut Jokowi, potensi kerugian petani akibat harga jagung yang rendah ketika panen Raya dapat dikompensasi jika produksi terus bertambah.
Oleh karenanya, sejumlah upaya khusus dilakukan Kementerian Pertanian sebagai lembaga yang bertanggung jawab. "Harus ditambah produktivitasnya. Kalau per hektare bisa produksi 8-9, ya sudah ditambah lagi jadi 10 ton," ujar dia.
Di sisi lain, perlu adanya diversifikasi pasar komoditas jagung dengan cara ekspor. Sebab, jika hanya diperuntukkan di dalam negeri, harga jagung akan liar dan jauh dari acuan yang ditetapkan pemerintah.
"Sebagian harus di pasar ekspor supaya harga stabil dan menguntungkan," kata Jokowi menambahkan.
Jokowi mengklaim, potensi pasar ekspor komoditas jagung saat ini masih cukup menjanjikan. Selain itu, harga jagung pakan dari Indonesia cukup kompetitif dengan kualitas yang baik didukung oleh faktor iklim.
Menurutnya hampir semua negara saat ini membutuhkan jagung sebagai bahan baku utama pakan ternak. Kendati demikian, Presiden mengakui masih banyak pekerjaan yang harus dibenahi di sektor pertanian.
Terutama, lanjut Jokowi, terkait ketersediaan benih unggul dan pupuk. Berdasarkan hasil evaluasi di sektor pertanian, Jokowi mengaku kerap kali terjadi penumpukan pupuk di suatu provinsi. Disaat bersamaan, provinsi lain kekurangan.
"Kita harus bicara apa adanya seperti itu sehingga memang diperlukan tambahan kapasitas pupuk kita," katanya.
Pertaturan Menteri Perdagangan Nomor 69 Tahun 2018 tentang Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen, harga acuan pembelian jagung di tingkat petani sebesar Rp 3.150 per kilogram dengan kadar air 15 persen.
Namun, ketika musim panen raya saat ini, harga jagung kerap jatuh hingga menyentuh di bawah Rp 3.000 per kilogram. Sementara, petani tidak memiliki daya tawar yang kuat karena mayoritas jagung dibeli oleh para pengepul.
Salah seorang petani jagung di Desa Motilango, Kartonumar (45 tahun) mengaku, baru saja memanen satu hektare lahan tanam jagung dari total dua hektare yang ia miliki.
Dari satu hektare lahan itu, ia berhasil memanen sekitar 9 ton. Namun, jagung hanya dihargai Rp 2.400 per kilogram sehingga pendapatan kotor mencapai Rp 21 juta.
"Tapi masih dikurangi biaya modal per hektare sekitar Rp 8 juta. Itu untuk benih, pupuk, obat, dan membayar buruh. Jadi hanya Rp 13 juta. Itu masih kurang untuk biaya hidup keluarga selama 6 bulan masa tanam," ujarnya kepada Republika.
Hal serupa juga diakui petani bernama Nino (42). Nino mengatakan, hanya memiliki satu hektare sawah dengan produktivitas 8 ton. Harga yang ia terima hanya Rp 2.300 per kilogram. Alhasil, tidak banyak keuntungan yang dia terima dari menanam jagung.