Jumat 01 Mar 2019 16:51 WIB

Film Mary Poppins Jadi Kritik Serius Dunia Perbankan

Kepala IMF sebut bukan kebetulan Mary Poppins tampilkan sosok jahat seorang bankir.

Rep: Santi Sopia/ Red: Indira Rezkisari
Colin Firth memerankan sosok bankir licik di Mary Poppins Returns.
Foto: dok Disney Pictures
Colin Firth memerankan sosok bankir licik di Mary Poppins Returns.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekuel Mary Poppins, Mary Poppins Returns memperlihatkan karakter buruk seorang bankir. Karenanya film ini dianggap kritik serius terhadap dunia perbankan.

Dilansir laman CNA Lifestyle, Kepala Dana Moneter Internasional atau IMF, Christine Lagarde, bahkan menilai bukan kebetulan jika sekuel tersebut menampilkan sosok buruk seorang bankir. Dia pun meminta industri perbankan global meningkatkan standar etika.

"Pertanyaannya, mengapa bankir itu penjahatnya?" kata Christine Lagarde dalam pidatonya di London kepada Worshipful Company of World Traders, yang mewakili perusahaan jasa keuangan.

Bagaimanapun, menurut dia, ekonomi yang sehat membutuhkan sektor keuangan yang sehat. Versi terbaru Mary Poppins akan dilihat oleh jutaan anak-anak di seluruh dunia.

"Dan itu memberi tahu kami sesuatu tentang perasaan sangat tidak nyaman tentang peran keuangan di dunia saat ini," katanya.

Lagarde menambahkan sistem keuangan masih perlu dibuat lebih aman setelah mendatangkan malapetaka pada ekonomi dunia satu dekade lalu. Pemberi pinjaman harus berbuat lebih banyak untuk mendukung pertumbuhan jangka panjang yang inklusif dan berkelanjutan.

Lagarde juga menyerukan tindakan untuk mengatasi potensi bahaya dari bank "terlalu besar untuk gagal", yang memiliki sekitar 45 persen dari total aset perbankan di Amerika Serikat, dibandingkan dengan sekitar 40 persen sebelum krisis keuangan tahun 2007.

Dia juga mengingatkan kepada negara lain untuk tidak gentar melakukan reformasi perbankan yang digaungkan setelah krisis keuangan global. Itu juga merupakan langkah  yang juga sudah dilakukan Presiden Donald Trump di Amerika Serikat.

Lagarde mengatakan biaya untuk bank relatif kecil dari aturan yang mengharuskan mereka menyisihkan lebih banyak uang sebagai penyangga terhadap kerugian di masa depan.

"Di atas semua itu, kita harus khawatir tentang upaya peningkatan untuk memutar kembali beberapa peraturan pasca-krisis," katanya.

Negara-negara perlu melawan tekanan itu. Dibutuhkan pula kebijakan politik untuk melakukan reformasi yang diharapkan.

Sedangkan Presiden Trump tahun lalu telah menandatangani undang-undang yang memudahkan pengawasan semua bank yang memiliki aset di bawah 250 miliar dolar AS.

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement