REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengatakan pemerintah seharusnya memilih kebijakan yang lebih progresif ketimbang memungut bayaran terhadap penggunaan kantong plastik. . Caranya ialah dengan menggunakan kantong plastik sesuai SNI, sesuai rekomendasi oleh Badan Standardisasi Nasional (BSN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
"Kantong plastiknya yang mudah terurai oleh lingkungan," ungkap Tulus, Jumat.
Tulus mencermati penggunaan kantong plastik sudah sampai pada tingkat sangat mengkhawatirkan. Pemerintah, pelaku usaha, produsen, dan konsumen harus bersinergi secara radikal untuk mengurangi penggunaan kantong plastik.
"Seharusnya masalah ini menjadi kebijakan dan gerakan nasional yang radikal oleh pemerintah pusat, bukan terfragmentasi secara sporadis di masing-masing daerah," ujar Tulus.
Di mata YLKI, pemerintah, seperti KLHK, Kemendag, Kemenperin belum memperlihatkan keseriusan untuk menyelamatkan bumi dari pencemaran sampah plastik. Menurut YLKI, bukan hanya kantong plastik saja yang harus diatur penggunaannya, tetapi juga pembungkus plastik untuk kemasan makanan, minuman, kosmetik pun harus ramah lingkungan.
"Karena sampah pembungkusnya itulah sumber pencemaran lingkungan yang sejati," kata dia.
Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) memang telah mengutip Rp 200 untuk tiap lembar kantong plastik. Namun, YLKI menanggap angka tersebut terlalu rendah dan tidak berdampak.
"Sekalipun konsumen mengonsumsi lima sampai 10 kantong plastik saat belanja, mereka hanya akan mengeluarkan Rp1.000-Rp2.000. Sebuah nominal yang tidak signifikan," ujar Tulus.
YLKI menilai upaya Aprindo tersebut tidak akan efektif untuk mengurangi penggunaan kantong plastik oleh konsumen. Lagi pula, menurut Tulus, istilah Kantong Plastik Tidak Gratis (KPTG) adalah menyesatkan.
Ia menjelaskan tidak ada kata gratis untuk kantong plastik. Semua biaya operasional pelaku usaha sudah dibebankan pada konsumen lewat harga yang harus dibayar.
"Dan seharusnya bukan hanya menyasar retailer modern saja, tetapi pasar-pasar tradisional, misalnya dimulai dari PD Pasar Jaya," kata Tulus.