Sabtu 02 Mar 2019 14:27 WIB

Kiai Ma'ruf Jelaskan Mengapa NU tak Gunakan Istilah Kafir

Rekomendasi NU soal tak menggunakan istilah kafir untuk menjaga keutuhan bangsa.

Rep: Muhyiddin/ Red: Muhammad Hafil
Munas NU: Presiden Joko Widodo didampingi Muhtasyar Nahdlatul Ulama (NU) KH Ma'ruf Amin (kiri) Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar (kedua kanan) dan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj (kedua kiri) berdoa bersama pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (27/2/2019).
Foto: Antara/Adeng Bustomi
Munas NU: Presiden Joko Widodo didampingi Muhtasyar Nahdlatul Ulama (NU) KH Ma'ruf Amin (kiri) Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar (kedua kanan) dan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj (kedua kiri) berdoa bersama pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama dan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar Citangkolo, Kota Banjar, Jawa Barat, Rabu (27/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Calon wakil presiden (cawapres) nomor urut 01, KH Ma'ruf Amin menanggapi hasil pembahasan Bahtsul Masail Maudluiyah NU yang memutuskan untuk tidak menggunakan kata kafir bagi non-Muslim di Indonesia. Menurut Kiai Ma'ruf, rekomendasi NU tersebut dikeluarkan untuk menjaga keutuhan bangsa.

"Ya mungkin supaya kita menjaga keutuhan, sehingga tidak menggunakan kata-kata yang seperti menjauhkan, mendeskriminisikan gitu. Mungkin punya kesepatakan untuk tidak menggunakan istilah itu," ujar Kiai Ma'ruf saat ditemui sebelum berangkat ke Karawang dari kediamannya di Jalan Situbondo, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (2/3) siang.

Baca Juga

Kiai Ma'ruf sendiri mengaku tidak mengikuti langsung Bahtsul Masail tersebut lantaran saat itu Kiai Ma'ruf tengah melakukan safari politik ke beberapa daerah di Jawa Barat untuk menyerap aspirasi masyarakat. "Saya sendiri tidak ikut sidangnya kan, karena terus mutar," ucap Mustasyar PBNU ini.

Namun, menurut dia, jika para ulama telah sepakat untuk tidak menggunakan istilah kafir bagi non muslim di Indonesia, berarti hal itu memang diperlukan untuk menjaga keutuhan bangsa.

"Kalau itu sudah disepakati ulama berarti ada hal yang diperlukan pada saat tertentu untuk menjaga keutuhan bangsa, istilah-istilah yang bisa menimbulkan ketidaknyamanan itu untuk dihindari," kata Ketua Umum MUI ini.

Sebelumnya, Ketua Umum PBNU, KH Said Aqil Siroj menyebutkan beberapa hasil Bahtsul Masail yang dinilai penting untuk diketahui masyarakat, terutama bagi warga Nahdliyin. Pertama, perihal istilah kafir.

Kiai Said mengatakan, berdasarkan hasil Bahtsul Matsail istilah kafir tak dikenal dalam sistem kewarganegaraan pada suatu negara bangsa. Sebab itu, tak ada istilah kafir bagi warga negara non-Muslim. Dan sebab itu pula, setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di mata konstitusi.

“Istilah kafir berlaku ketika Nabi Muhammad di Makkah untuk menyebut orang-orang penyembah berhala yang tidak memiliki kitab suci, yang tidak memiliki agama yang benar. Tapi, setelah Nabi Muhammad hijrah ke Kota Madinah, tak ada istilah kafir untuk warga negara Madinah yang non-Muslim. Ada tiga suku non-Muslim di sana, tapi tak disebut kafir,” katanya dalam kegiatan Musyawarah Nasional Alim Ulama dan Konferensi Besar Nahdlatul Ulama (Munas-Konbes NU) 2019 di Pondok Pesantren Miftahul Huda Al-Azhar, Banjar, Jumat (1/3).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement