REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilu 2019 dianggap semakin memperkuat polarisasi politik identitas pasca-Pilpres 2014 dan Pilgub DKI 2017. Di satu sisi, kedua kubu sama-sama saling bantah melakukan politisasi politik identitas, namun kenyataannya dua kubu juga ikut menikmati pertambahan elektoral dari maraknya politik identitas saat ini.
Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI) Aditya Perdana mengatakan, tidak bisa dimungkiri dua kubu pasangan calon (paslon) baik 01 atau 02, menjadi korban politik identitas. Secara teori, menurut dia, mempraktikkan politik identitas adalah sah. Namun yang tidak boleh dan itu terjadi saat ini adalah politik identitas yang eksploitatif, dipolitisasi berlebihan, hingga dibingkai dalam hoaks, fake news, dan fitnah.
Aditya mengungkapkan, walaupun dua paslon mengaku dirugikan karena menjadi korban politik identitas, namun ia menilai kedua paslon ternyata juga menikmati politik identitas tersebut. Terutama ketika politik identitas itu memberikan dampak dukungan politik yang luar biasa.
"Logikanya dalam konteks kedua paslon menikmati politik identitas yakni dalam keuntungan elektoral. Selama politik identitas itu memberi dampak positif mengkapitalisasi elektoral mereka," kata Aditya kepada wartawan, Sabtu (2/3).
Persoalannya seberapa kedekatan politik identitas tersebut menghasilkan elektoral. Diakui Aditya, bisa jadi memang dua paslon ini mendapat dukungan yang lumayan dari berkembangnya politik identitas. Sebab, menurut dia, sebagian besar karakter pemilih di Indonesia lebih cenderung mengedepankan aspek emosional.
Walaupun Aditya tidak memungkiri ada beberapa pemilih di Indonesia yang lebih cerdas. Mereka menjatuhkan preferensi pilihannya pada kampanye programatik paslon. Namun jumlah pemilih seperti ini di Pemilu 2019 masih sangat sedikit, dibandingkan pemilih yang mengedepankan emosionalnya.
Karena itu, Aditya mengungkapkan, hasil riset dan wawancara Puskapol UI, memperlihatkan ada situasi di mana baik TKN milik Jokowi maupun BPN milik Prabowo menikmati politisasi politik identitas ini. "Apalagi tidak ada upaya dua pihak untuk menghentikan politik identitas ini secara masif dan mengembalikannya secara positif," terangnya.
Padahal, menurut Aditya, dari jumlah pemilih yang sudah menetapkan pilihannya ke dua paslon baik nomor 01 atau 02, masih cukup besar adalah pemilih swing voters. Ia merujuk pada hasil survei dari beberapa lembaga, swing voters yang besar tersebut sebagian besar adalah pemilih cerdas yang tidak bisa dipengaruhi oleh politik identitas.
Para swing voters tersebut, lanjut Aditya, menantikan munculnya beragam narasi programatik dari dua paslon yang dianggap mampu menjawab persoalan besar bangsa Indonesia. Bukan dipengaruhi kampanye yang dominasi isu-isu SARA dan mengkapitalisasinya. "Swing voters itu tidak mempan dengan isu SARA dan politik identitas," katanya.
Karena itu, Puskapol UI berharap tim dua paslon sudah saatnya menyampaikan kampanye-kampanye yang programatik. Hal ini jauh lebih baik dan bermanfaat mendapatkan keuntungan elektoral dari suara swing voters atau undecided voters yang jumlahnya jauh lebih besar.