REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jenderal Besar Kerajaan Aksum Abrahah al-Asyram menjadi penguasa besar pada abad keenam. Dengan balatenta ranya yang besar, dia menghabisi penguasa yang membakar para pengiman Tauhid di Najran. Setelah itu, dia membangun gereja besar.
"Aku akan bangunkan untukmu sebuah gereja di Negeri Yaman yang belum pernah dibuat sebelumnya, ujar Abrahah kepada raja Najasyi sebagaimana diceritakan Ibnu Kasir dalam tafsirnya.
Pembangunan gereja pun dimulai di Shan'a, sebuah bangunan yang sangat tinggi dan pelataran yang luas. Bangunan ini pun terlihat mewah karena setiap sisinya dihias indah. Tak sekadar membangun. Ada lagi satu ambisi besar. Yaitu memindahkan ritual haji dari Makkah ke gereja yang dibangunnya. Kabar ini pun tersiar hingga seantero jazirah arab.
Bangsa Arab makin membenci Abrahah. Mereka murka dan mendatangi gereja tersebut untuk menghancurkannya. Mendengar bangunan yang dibanggakannya dirusak, Abrahah pun bersumpah untuk mengahancurkan Baitullah di Makkah. Kemudian Abrahah menyiapkan diri dan pergi dengan membawa pasukan yang cukup banyak dan kuat. Sehingga tidak seorang pun mampu melawannya, termasuk membawa seekor gajah yang sangat besar.
Pada masa itu belum ada seekor gajah pun yang besarnya sama seperti milik Abrahah. Beberapa pendapat menyebutkan, Najasyi, raja Habasyah pun mengirim pasukan yang sama. Sebagian menyebut Abrahah membawa delapan gajah, sebagian yang lain mengatakan 12 gajah.
Tujuan mereka satu, ingin menghancurkan Kakbah dengan meletakkan rantai pada pilar-pilarnya. Sedangkan ujung rantai lainnya diikatkan di leher gajah. Mereka berusaha untuk menggerakkan gajah agar dapat menjatuhkan tembok itu sekaligus. Warga arab kemudian bersatu mendengar kedatangan Abrahah dan pasukan gajah.
Mereka mewajibkan setiap orang mempertahankan Baitullah serta melawan setiap orang yang hendak menghan curkannya dengan berbagai taktik tipu daya. Mereka juga merampas harta masyarakat setempat, di antaranya adalah ratusan unta Abdul Muthalib, kakek Rasulullah.
Mendengar 200 ekor untanya dirampas pasukan Abrahah, Abdul Muthalib pun beranjak menemui Abrahah. Mendapat tamu dari pemuka Makkah, berbangga hatilah Abrahah. Ia menyangka Abdul Muthalib cemas Ka'bah akan dihancurkan. Apa keperluan Anda hingga datang ke sini? tanya Abrahah kepada kakek Rasulullah dengan congkak.
Namun, jawaban Abdul Muthalib sangat di luar dugaan Abrahah. Kembalikan 200 ekor unta milikku yang telah dirampas oleh pasukanmu, ujar Abdul Muthalib. Abrahah pun terheran, Mengapa kau lebih mengkhawatirkan untamu, padahal kami datang ke sini untuk menghancurkan Ka'bah? Mengapa kau tidak mengkhawatirkan Ka'bah itu saja? ujarnya.
"Unta-unta yang kau rampas itu adalah milikku, sementara Ka'bah merupakan milik Allah. Maka, Allahlah yang akan melindunginya," jawab Abdul Mut halib ringan. Abrahah terdiam namun geram.
Dikembalikanlah unta-unta milik Abdul Muthalib. Saat kembali ke Makkah, Abdul Muthalib pun memperingatkan warga kota agar berlindung menyelamatkan diri. Bergegaslah warga Makkah meninggalkan kota. Sementara, Ka'bah tetap berdiri tak satu pun warga yang melindungi.
"Ya Allah, kami menyelamatkan diri kami maka lindungilah rumah-Mu ini," doa Abdul Muthalib di depan Ka'bah sebelum meninggalkan kota.
Beberapa saat kemudian Abrahah bersiap-siap untuk memasuki kota Mekah, lalu menyiapkan pasukan. Sete lah semuanya siap, mereka mengarahkan gajah menuju ke Makkah. Tanpa disadari, Allah mengirimkan kepada mereka sejumlah besar burung dari arah laut yang bentuknya seperti bu rung walet.
Tiap ekor membawa tiga buah batu. Satu diparuhnya dan yang dua dipegang oleh masing-masing dari kedua kakinya; batu itu sebesar kacang. Tiada seorang pun dari mereka yang terkena batu itu melainkan pasti binasa. Akhirnya mereka melarikan diri tunggang langgang. Kisah tersebut diaba dikan Allah dalam surah al-Fil. Ini merupakan fenomena yang terjadi menjelang kelahiran Rasulullah.