REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen IAIN Bukti Tinggi Hayati Syafri melaporkan pemecatan dirinya ke kantor Badan Kepegawaian Negara (BKN) pada Senin, (3/3). Ia menilai pemecatannya tak sesuai prosedur hukum.
Dosen yang mengenakan cadar itu tiba sekitar pukul 14.00 WIB dengan didampingi tim kuasa hukum berjumlah lima orang. Kuasa Hukum Hayati, Ismail Nganggon mengatakan alasan pemecatan Hayati tak bisa diterima akal sehat.
"Kedatangan dalam rangka banding pemecatan. Alasannya tidak jelas karena alasan kerja dianggap tidak masuk," katanya pada wartawan.
Ia mengatakan sebelum pemecatan diputuskan, ada pertemuan antara Hayati dengan Itjen Kemenag. Hasil pertemuan itu, salah satu solusi yang ditawarkan pada Hayati agar membuka cadar. Hayati menolak mentah-mentah solusi itu.
"Ada poinnya salah satunya Irjen Kemenag bilang berhenti jadi dosen atau cadar dibuka. Termasuk prosedurnya banyak pelanggaran. SK pemecatan enggak diterima," ujar Ismail.
Sementara itu, Hayati menekankan pembelaannya dilakukan semata-mata agar bisa kembali mengajar. Ia merasa berat bila harus meninggalkan posisi sebagai dosen. Apalagi dirinya baru saja mendapat gelar doktor.
"Lakukan pembelaan biar bisa aktif lagi. Banyak pertimbangan jadi alasan bisa aktif lagi," ucap dosen bahasa Inggris itu.
Hayati mengatakan sudah menjadi dosen sejak 2007. Kemudian baru mengenakan cadar pada 2017. Surat pemecatannya keluar 18 Februari 2019.
Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Agama telah menetapkan keputusan untuk memberhentikan Hayati Syafri sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) di IAIN Bukittinggi. Hayati diberhentikan karena alasan melanggar disiplin pegawai berdasarkan rekam jejak absensi di kepegawaian IAIN Bukittinggi.
Dirjen Pendidikan Islam Kemenag Kamaruddin Amin menjelaskan, keputusan tersebut diambil setelah melalui proses audit dan investigasi secara komprehensif dan mendalam oleh Inspektorat Jendral Kementrian Agama. Dia juga menegaskan, keputusan ini bukan semata-mata diambil karena Hayati mengenakan cadar, melainkan karena pelanggaran disiplin kepegawaian.
“Jadi tentu pertimbangannya cukup panjang, sekali lagi saya tekankan bahwa keputusan itu diambil bukan karena yang bersangkutan mengenakan cadar. Tapi semata mata karena melanggar disiplin kepegawaian di PP 55 Tahun 2007,” kata Kamaruddin saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (28/2).
Menurut hasil investigasi yang dilakukan Kemenag, Hayati terbukti sering kali tidak hadir dan frekuensi ketidakhadirannya telah melampaui batas maksimal. Melalui pertimbangan ini, kata Kamaruddin, Hayati memang sudah seharusnya diberhentikan. “Jadi yang bersangkutan, menurut hasil temuan Irjen memang sudah harus diberhentikan, karena sering tidak masuk kelas,” jelas dia.
Meski begitu, Kamaruddin menekankan bahwa Hayati masih memiliki peluang untuk membela diri melalui pengajuan banding. Kamaruddin juga membantah jika Kemenag dianggap tidak adil dalam mengeluarkan keputusan.
“Saya kira tidak juga lah, jadi kalau dia membantah itu kan harus ada bukti, dan masih ada jalan melalui banding,” ujar Kamaruddin.
Menurut Kamaruddin, jika Hayati merasa diperlakukan tidak adil atau diskriminatif, maka pengajuan banding dapat dilakukan, sehingga keputusan pemecatan tersebut dapat kembali dipertimbangkan. Selain itu, Kamaruddin juga menjelaskan, jika dalam banding tersebut Hayati terbukti benar, maka keputusan Kemenag mengenai pencabutan ASN dapat dianulir.
“Kalau memang dia benar, dan Kemenag salah, maka keputusan itu bisa dianulir. Jadi silakan saja, karena memang ada jalan dan prosedurnya,” tegas dia.
Dia menegaskan, tidak mungkin tiba-tiba Menag mencabut hanya karena pertimbangan yang tidak kuat. "Makanya silahkan saja mengajukan banding kalau memang yang bersangkutan merasa diperlakukan tidak adil,” tambah Kamaruddin.