REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI) menyambut gembira rekomendasi penghapusan istilah kafir untuk WNI non-Muslim. Usulan tersebut lahir dari Nahdlatul Ulama pasca menggelar Musyawaran Nasional (Munas) dan Konferensi Besar NU.
“Kita menyambut gembira usulan seperti ini, kita sangat mengapresiasi,” kata Sekretaris Umum PGI, Pendeta Gomar Gultom dalam sambungan telepon kepada Republika.co.id di Jakarta, Senin (4/3).
Menurut Gomar, dengan menghilangkan atau tidak lagi menggunakan kata kafir kepada masyarakat Indonesia non-Muslim akan berdampak. Karena bagaimanapun mengubah istilah kafir tersebut secara sosiologis politis menimbulkan dampak diskriminatif dalam kehidupan berbangsa.
“Tapi di sisi lain juga merupakan kekerasan teologis karena cenderung mendegasikan umat yang lain dalam kehidupan berbangsa dan negara, maka semua umat harus diperlakukan sebagai sesama manusia dan kita menyambut gembira usulan seperti ini,” paparnya.
Ia menjelaskan, sebenarnya istilah kafir ada di semua agama tentu dengan penyebutan yang berbeda. Istilah tersebut hadir untuk membedakan umat yang berbeda agamanya.
“Tetapi ketika ini dipahamkan secara teologis juga kan merupakan bentuk kekerasan terhadap umat Islam,” ujarnya.
Sedangkan dalam perspektif Kristiani sendiri menurutnya, istilah kafir hanya digunakan dalam periode dan konteks tertentu saja. Bahkan saat ini menurutnya, umat Kristen tidak lagi menggunakan dan menyebut kata kafir.
“Istilah itu tidak lagi digunakan, sekalipun kata itu sendiri ada di dalam kitab suci tapi di dalam kehidupan membangun ruang publik kata itu tidak digunakan lagi,” terangnya.
Umat Kristiani sendiri saat ini tambahnya, menyebut umat agama lain tidak dengan istilah kafir. Melainkan sebagai sesama manusia. “Kita sebut sekarang sebagai sesama manusia yang lain,” ungkapnya
n