REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Mark Taylor, seorang warga Selandia Baru yang bergabung dengan kelompok teroris ISIS tertangkap di Suriah Utara dan kini ditahan dalam penjara yang dikuasai pasukan Kurdi.
Pria yang dijuluki Jihadis Kiwi ini berhasil ditemui ABC News untuk wawancara beberapa waktu lalu. Menurut pengakuannya, Taylor melarikan diri dari ISIS pada Desember dan menyerah ke pasukan Kurdi karena tidak sanggup lagi hidup di bawah ISIS.
"Tidak ada makanan, tak ada uang, sudah banyak pelayanan dasar yang tak berjalan," katanya.
"Saya sendiri dalam situasi terjepit dan harus membuat keputusan, yaitu pergi dari sana," tambahnya.
Dia mengaku keputusan ini sulit baginya. "Sebab mereka bilang ke saya, kamu tak bisa pergi, kamu ke sini demi Allah, kamu ke sini untuk mati," tutur Taylor.
Meski tinggal selama lima tahun bersama ISIS, namun Taylor mengaku bukan kombatan melainkan hanya petugas penjaga perbatasan. "Saya membantu menjaga perbatasan antara Suriah dan ISIS," katanya.
"Berperang dan berjaga jelas berbeda. Untuk berjaga kita tidak perlu merencanakan apa pun. Untuk berperang kita perlu persiapan," katanya berdalih.
"Setiap dua jam selama 24 jam, kita harus menjaga area tertentu," jelasnya.
Pada 2015, Pemerintah AS menyatakan status Taylor sebagai teroris global setelah muncul dalam video propaganda ISIS menyerukan serangan di Australia dan Selandia Baru. Dia juga memposting video di YouTube yang menyerukan pengikutnya "memulai operasi, bahkan jika harus berupa tikaman ke petugas polisi dan tentara pada Hari Anzac".
Sebelumnya pada 2009, dia ditangkap di Pakistan karena berusaha mendapatkan akses ke kelompok teroris Alqaidah. Pada 2010, Taylor dideportasi oleh badan intelijen Australia ASIO karena dinilai sebagai risiko keamanan. Taylor keluar masuk Australia selama 25 tahun.
Tak sesuai yang diharapkan
Taylor mengatakan kehidupan di bawah ISIS tidak sesuai dengan yang dia harapkan. Menurut penuturannya, tidak perlu waktu lama baginya sebelum masuk radar polisi rahasia ISIS. Dia mengaku dipenjara tiga kali oleh ISIS.
"Saya jadi sangat benci kepada petugas keamanan ISIS. Saya diancam dengan siksaan dan dipenjara karena dicurigai sebagai mata-mata," katanya.
"Kejadian terakhir sangat konyol. Saya dituduh minum dan membuat alkohol serta mengisap ganja," ucapnya.
Pada Oktober 2015 Taylor memposting di akun Twitternya tanpa mematikan fungsi lokasi dari medsos tersebut. Gara-gara hal ini, dia menghabiskan 50 hari dalam penjara ISIS.
"Akun Twitter ditangguhkan. Pada 9 Januari 2015 saya menerima surat dan disuruh menghadap seorang pejabat (ISIS)," katanya.
"Mereka memasukkan saya ke sebuah ruangan, mengambil senjataku serta ponsel," katanya seraya menambahkan dia dituduh membocorkan 12 lokasi ISIS di GPS.
Selama hidup bersama ISIS, dia mengaku menyaksikan sejumlah pemenggalan dan eksekusi.
"Ada seorang wanita yang mereka ambil dari truk dan menembaknya di belakang kepala. Banyak orang berkerumun. Saya tanya apa yang terjadi, tapi tak ada yang menjawab," katanya.
Kejadian lain saat Taylor tinggal di Soussa. "Mereka menyuruh menyalib seseorang dengan catatan di lehernya. Tapi saya tak tahu apa isinya. Saya tak mengerti bahasa Arab," ujarnya.
Dia mengatakan siapa pun yang secara terbuka menentang kekejaman dan penindasan akan dipenjara atau dipenggal lehernya. Taylor mengaku bertemu beberapa warga Australia di Suriah selain Neil Prakash.
"Aku bertemu dia ketika berada di Raqqa," katanya.
Neil saat itu membuat video bersama kepala media ISIS dan meminta Taylor ikut. "Saya duduk di sana selama 10 menit, dan muncul dalam video selama satu detik," katanya.
Menurut dia, Neil Prakash mengaku memiliki masalah ginjal.
Terlalu miskin untuk membeli budak
Taylor mengaku salah satu penyesalannya ketika hidup bersama ISIS yaitu dia tidak mampu membeli budak wanita dari kaum Yazidi.
"Saya ingin memiliki (budak), tapi tidak pernah mendapatkannya," ujarnya.
"Untuk membeli budak, kita perlu 4.000 dolar AS untuk wanita lebih tua, 50 tahun ke atas," jelasnya.
"Untuk wanita yang layak, setidaknya perlu 10 ribu atau 20 ribu dolar. Saya tidak punya uang sebanyak itu. Saya terlalu miskin," tambah Taylor.
Menurut dia, jika punya budak, dia berhak melakukan apa pun atas orang itu, terlepas dari fakta bahwa para wanita itu diambil paksa.
"Itu bukan urusan saya karena, seperti yang saya katakan, untuk membeli seorang wanita itu butuh uang," katanya.
Dia mengatakan karena tak mampu beli budak wanita, dia pun akhirnya menikah dengan wanita Suriah.
Taylor memiliki dua istri saat tinggal bersama ISIS. Keduanya orang Suriah.
"Saya menikah dengan seorang wanita Suriah dari Deir Ezzor. Namanya Umm Mohammad. Dia minta kami pergi ke Idlib, lalu ke Turki," katanya.
"Satu bulan kemudian saya menikahi wanita Suriah lainnya yang pro-ISIS. Jauh lebih muda, tapi saya menceraikannya," ujarnya.
Istri barunya itu, katanya, tidak ingin tinggal di rumah bersamanya dan hanya ingin dekat dengan teman-temannya, bukan suaminya.
Taylor mengaku tidak heran jika Selandia Baru kini tidak bersedia menerimanya kembali.
"Jika mereka menerima saya kembali, kemungkinannya saya akan menghabiskan beberapa tahun dalam penjara," katanya.
Dia meminta maaf untuk negara asalnya. "Saya minta maaf karena menyebabkan banyak masalah," katanya.
"Saya tidak tahu apakah bisa kembali ke Selandia Baru. Tapi pada akhirnya semua ini harus saya jalani sepanjang hidupku," ucap Mark Taylor lagi.
Diterbitkan oleh Farid M Ibrahim dari artikel ABC News.