REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia atau Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (Asita) Nusa Tenggara Barat (NTB) berharap ada kebijakan khusus dari pemerintah terhadap sektor pariwisata, khususnya mengenai harga tiket pesawat.
"Sebagai insan pariwisata NTB kita tidak mengerti kenapa tidak ada kebijakan khusus, padahal kita kena bencana alam, tapi kelihatannya menteri perhubungan tidak berdaya, kalah dengan hegemoni maskapai," ujar Dewan Penasehat DPD Asita NTB Lalu Akram kepada Republika di Mataram, NTB, Senin (4/3).
Akram mengatakan, tingginya harga tiket pesawat dan penerapan bagasi berbayar yang dilakukan saat low season membuat tingkat kunjungan ke Lombok menurun. Akram menilai, kebijakan tersebut menghambat percepatan pemulihan sektor pariwisata Lombok yang sempat melesu pascagempa tahun lalu.
"Kebijakan ini menystuahkan kami di dunia pariwisata Indonesia, misalnya Lombok pascagempa bukan saja lesu tapi KO. Dampak gempa belum usai, kini ada kenaikan harga tiket pesawat yang justru dilakukan saat sedang lesu (low season)," kata Akram.
Akram menyebutkan, angka okupansi kamar hotel di Lombok masih berada di bawah 30 persen atau sekira 27 persen tepatnya. Angka tersebut relatif tidak mengalami kenaikan signifikan dari angka okupansi sebesar 20 ke bawah saat gempa melanda.
"Biasanya saat low season pasti turun berkisar 40-60 persen itu biasa, sudah sepi, sekarang ini sangat di bawah standar," ucap Akram.
Akram menyampaikan, DPD Asita se-Indonesia sempat berencana menggelar aksi ke depan Istana Negara pada 28 Februari, namun tidak terlaksana dan dialihkan dengan berdialog bersama Dirjen Perhubungan Udara, Kementerian Perhubungan, guna membahas persoalan tingginya harga tiket pesawat.
"Kita dialog tapi belum ada hasilnya, tetap saja bagasi bayar dan tiket mahal. Dampakmya semakin sedikit orang yang datang ke Lombok, bahkan lebih memilih ke luar negeri karena lebih murah," ungkap Akram.