Selasa 05 Mar 2019 16:20 WIB

Industri Tekstil Pendam Beban Transformasi

Tekstil tak bisa terus mengandalkan bahan katun yang terbatas.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Friska Yolanda
Konferensi pers rencana pembukaan Prodi Rekayasa Tekstil di Fakultas Teknik Industri Universitas Islam Indonesia (UII), Selasa (5/2).
Foto: Republika/Wahyu Suryana
Konferensi pers rencana pembukaan Prodi Rekayasa Tekstil di Fakultas Teknik Industri Universitas Islam Indonesia (UII), Selasa (5/2).

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Industri tekstil kerap tertuduh sebagai penghasil limbah. Karenanya, demi menghapus stigma tersebut, industri tekstil dirasa harus turut menerapkan transformasi dalam sistem produksinya.

Ketua Program Studi Teknik Kimia Fakultas Teknik Industri Universitas Islam Indonesia (UII), Suharno Rusdi membenarkan kondisi tersebut. Malah, kondisi itu cukup menjadi salah satu alasan industri-industri tekstil di Bandung ditutup.

Baca Juga

Ia menilai, itu harus diubah. Menurut Suharno, perubahan itu dapat dimulai dari pola pikir pelaku-pelaku industri tekstil itu sendiri. Utamanya, agar tidak lagi menggunakan bahan-bahan baku yang menghasilkan limbah bagi lingkungan.

Sebagai bahan baku, ia melihat industri tekstil di Indonesia tidak bisa terus mengandalkan bahan katun yang sangat terbatas. Suharno sendiri mengusulkan penggunaan rayon atau serat-serat kayu yang sumbernya melimpah di Indonesia.

Terlebih, hingga kini, bahan-bahan katun yang diproduksi di Indonesia masih harus mengimpor. Karenanya, jika bahan baku bisa memanfaatkan kekayaan dari dalam negeri tentu bisa mengurangi jumlah impor Indonesia untuk tekstil.

Untuk memberikan warna, hari ini tidak cuma bisa dilakukan dengan mencelupkan ke larutan pewarna. Ia menekankan, ada teknologi nano dan teknologi plasma yang bisa dimanfaatkan dan lebih ramah lingkungan.

Teknologi nano misalnya, merupakan zat pewarna yang dihaluskan sampai begitu halus dan bisa sampai 0,01 milimeter. Nantinya, zat itu tinggal disemprotkan yang artinya tidak menghasilkan banyak air limbah.

"Tidak menimbulkan limbah suara atau limbah air, penggunaan air tetap ada tapi jumlahnya sangat sedikit," kata Suharno di FTI UII, Selasa (5/2)

Suharno menekankan, itu pula yang akan menjadi salah satu pembahasan utama di Kongres Ikatan Ahli Tekstil Seluruh Indonesia (IKATSI). Kongres Ikatsi akan diselenggarakan di Yogyakarta pada 7 Maret 2019.

Kongres IKATSI diharapkan tidak cuma dapat mempersatukan ahli-ahli tekstil di Indonesia. Kongres harus pula mempersiapkan mereka untuk menghadapi tantangan industri tekstil Indonesia pada masa mendatang.

IKATSI harus sadar pertumbuhan industri tekstil dan produk tekstil nasional hingga kini belum dapat dioptimalkan. Belum lagi, ada permasalahan sumber daya manusia dalam dunia industri yang harus bisa dijawab, mulai dari keterbatasan kuantitas, minimnya kesempatan untuk meningkatkan kualitas karena harus bersaing dengan tenaga kerja asing, hingga konektivitas tenaga ahli dan industri yang tampak belum terjalin baik.

Kebutuhan sumber daya manusia terampil industri produk tekstil diyakini malah akan meningkat di era revolusi industri 4.0. Karenanya, perguruan tinggi harus pula meningkatkan produksi sumber daya manusia terampil bidang tersebut.

"Diprediksi industri tekstil dan produk tekstil kembali menggeliar karena pasar ekspor dan kebutuhan domestik tumbuh," ujar Suharno.

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement