Selasa 05 Mar 2019 16:26 WIB

UU Belum Mendukung Indonesia Jadi Pusat Ekonomi Islam

UU Zakat, UU Pajak Penghasilan, dan UU OJK harus diamendemen.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Andi Nur Aminah
Ketua Baznas Bambang Sudibyo
Foto: Republika/ Wihdan
Ketua Baznas Bambang Sudibyo

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) berpandangan, peraturan pemerintah belum mendukung penuh Baznas menjadi pengelola zakat terbaik di dunia. Padahal, Baznas membantu mengentaskan kemiskinan dan menyejahterakan mustahik dengan optimalisasi pengelolaan zakat menuju Indonesia pusat ekonomi Islam dunia.

Baznas menilai, kalau pemerintah betul-betul ingin merealisasikan visi pemerintah tahun 2024, yaitu menjadikan Indonesia pusat ekonomi Islam dunia, harus ada peraturan undang-undang (UU) yang mendukungnya. "UU tidak mendukung. UU Zakat, UU Pajak Penghasilan, dan UU OJK (Otoritas Jasa Keuangan) tidak mendukung. Tiga UU itu harus diamendemen," kata Ketua Baznas Bambang Sudibyo kepada Republika.co.id saat Rakornas Zakat 2019 di Hotel Sunan Surakarta, Jawa Tengah, Senin (4/3).

Baca Juga

Menurut dia, tiga UU tersebut diamendemen agar pengelolaan zakat di Baznas kabupaten/kota, provinsi dan pusat seperti pengelolaan pajak. Namun, pendistribusian zakat tidak seperti pendistribusian pajak, karena pendistribusian zakat sudah diatur dalam Islam.

Bambang mengatakan, menteri keuangan pernah mengatakan, pengelolaan zakat harus seperti mengelola pajak. Baznas juga menginginkan hal tersebut, membuat aturan yang mewajibkan zakat sama seperti wajibnya pajak.

"Tapi, ada konsekuensinya, membuat wajib (zakat) itu pasti akan ada resistance (penolakan) dari masyarakat, supaya masyarakat tidak resistance maka Kementerian Keuangan (perlu) memberikan insentif," kata Bambang.

Ia menjelaskan, zakat yang dibayarkan kepada Baznas atau lembaga amil zakat (LAZ) diharapkan bisa mengurangi kewajiban pajak. Itulah bentuk insentif yang bisa diberikan Kementerian Keuangan kepada masyarakat.

Ia mengatakan, bentuk insentif yang diinginkan Baznas itu telah disampaikan kepada Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Prof Mardiasmo. Ia berharap Wmenkeu dapat menyampaikannya kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani. Sebab, yang memulai gagasan tersebut adalah Menteri Keuangan.

Ia melanjutkan, kalau zakat menjadi wajib dan sistem insentif pajak seperti yang diinginkan Baznas, maka potensi zakat 1,57 persen produk domestik bruto (PDB) berubah menjadi 3,4 persen PDB. Menurut dia, peraturan wajib zakat dan sistem insentifnya sebenarnya sudah diterapkan Malaysia.

"Bayangkan kalau zakat wajib, undang-undang bisa mengatakan bahwa semua perusahaan sepanjang mempekerjakan karyawan ataupun direksi Muslim wajib memotong zakatnya dan disetorkan ke Baznas atau LAZ," ujarnya.

Bambang mengatakan, kalau karyawan-karyawan di perusahaan swasta membayar zakat, maka realisasi pengumpulan zakat bisa semakin besar. Kalau dana zakat yang dikelola Baznas besar, maka kepercayaan publik harus terjamin. Karena itu, perlu ada pengawasan yang baik terhadap pengelola zakat seperti Baznas dan LAZ.

"Maka kita ingin OJK mengawasi Baznas dan LAZ, karena Baznas dan LAZ akan menjadi lembaga keuangan syariah yang cukup besar," jelasnya.

Ia menegaskan, mestinya Baznas dan LAZ sebagai lembaga keuangan diawasi oleh OJK. Sekarang Baznas hanya diaudit oleh kantor akuntan publik (KAP). Sebab, UU yang mengatur pengawasan masih lemah. Malah Baznas sendiri yang menginginkan pengawasan terhadap Baznas dan LAZ diperketat.

Untuk sampai ke amendemen UU, Bambang melihat harus melakukan pendekatan-pendekatan. Amendemen UU Pajak Penghasilan hak inisiatif Kementerian Keuangan. Namun, Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) bisa mengambil inisiatif untuk menggagas amendemen UU tersebut. Sementara, untuk amendemen UU Zakat, hak inisiatifnya ada di Kementerian Agama.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement