REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) menyebut kenaikan BI-7 Days Reverse Repo Rate atau suku bunga acuan bank sentral masih diperlukan. Hal ini mengingat beberapa indikator kondisi perekonomian masih belum stabil.
Menanggapi pernyataan tersebut, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai kenaikan suku bunga acuan dapat berdampak pada sektor riil. Sekaligus ketatnya penyaluran kredit yang dikeluarkan perbankan nasional.
“Tidak bisa melihat dari sisi pasar saja. Kalau bunga naik lagi maka sektor riil yg akan terpukul. Biaya pinjaman jadi lebih mahal dan bank akan perketat penyaluran kredit. Pengusaha yang mau ekspansi jadi wait and see,” ujarnya kepada Republika.co.id, Selasa (5/3).
Bhima berharap Bank Indonesia dapat menunggu kondisi ekonomi global dan sektor riil dalam negeri. “The Fed diperkirakan masih tahan bunga acuan melihat data data ekonomi AS di bawah ekspektasi khususnya inflasi,” ucapnya.
Sementara Kepala Ekonom PT Bank Negara Indonesia Tbk (Persero) menambahkan BI belum akan menaikkan BI7DRR atau bunga acuan. Hal ini lantaran trend kebijakan moneter global cenderung melonggar atau dovish, besar kemungkinan sampai berakhirnya kuartal pertama 2019 ini dan berlanjut hingga semester pertama 2019 ini.
“Langkah ini penting untuk menjaga momentum pertumbuhan di tengah melemahnya perekonomian sejumlah negara (AS, Cina, Jepang, Eropa) dan arah ekspektasi inflasi domestik yg melandai sesuai jangkar yang 3,5 persen,” ujarnya kepada Republika.co.id.
Menurutnya langkan ini pula nilai tukar Rp thdp dolar AS masih akan stabil di kisaran Rp 14.000-an di sepanjang 2019 karena real effective interest rate (selisih bersih suku bunga) dalam rupiah masih menarik bagi investor asing sehingga tdk akan menekan rupiah, apalagi nilai tukar rupiah dinilai masih undervalued.
“Hal yg menggembirakan, kemungkinan besar the Fed hanya akan menaikkan FFR satu kali tahun ini menjadi 2,5-2,75 persen atau bahkan tidak menaikkan sama sekali alias bertahan di level 2,25-2,5 persen untuk mengantisipasi koreksi pertumbuhan ekonomi AS di tengah inflasinya yg juga menjauh dari 2 persen,” ungkapnya.