REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang 1980, 'Imaduddin Abdulrahim alias Bang 'Imad bebas dari penjara. Hal itu, antara lain, melalui lobi-lobi yang dilakukan Prof Tisna Amidjaja. Sebagai seorang tahanan politik, Bang 'Imad dipenjara bukan lantaran kriminal, melainkan hanya berseberangan dengan sikap penguasa saat itu.
Tisna Amidjaja yang kala itu menjabat rektor ITB berhasil meyakinkan Pangkopkamtib bahwa Bang ‘Imad bukan orang politik, sehingga tidak “berbahaya.” Sebagai kompromi, akademisi kelahiran Garut (Jawa Barat) itu meminta supaya Bang ‘Imad dikirim saja dalam rangka tugas belajar ke luar negeri.
Awalnya, upaya itu sempat terkendala banyak hal. Sebut saja, kendala usia yang bersangkutan, yakni sudah 48 tahun. Namun, berkat lobi-lobi yang dilakukan Mohammad Natsir, kendala yang tidak begitu prinsipil itu dapat diatasi. Tokoh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) itu berkomunikasi dengan pemerintah Arab Saudi dan Kuwait.
Maka, ‘Imaduddin pun berkesempatan melanjutkan S-3 di AS dengan beasiswa dari dua negara Islam tersebut. Pada 1985, dia berhasil meraih gelar doktor dari Iowa State University, meski dengan sedikit insiden: disertasinya nyaris lenyap saat disimpan di komputer.
Imaduddin Abdulrahim
Menjembatani Komunikasi
Selama masa studi doktoral itu, Bang ‘Imad bersahabat dengan para intelektual Indonesia yang merantau ke luar negeri. Sebut saja, Nurcholis Majid (Cak Nur) dan Ahmad Syafi’i Ma’arif.
Bang 'Imad pun berkenalan dengan Fazlur Rahman (1919-1988), pemikir Islam yang juga pembimbing karya ilmiah dua sahabatnya itu. Di samping itu, dia juga mengenal dekat aktivis yang kemudian menjadi politikus Malaysia, Anwar Ibrahim.
Akhir tahun 1986, ‘Imaduddin pulang dari AS. Di Tanah Air, dia mendapati kalangan intelektual Muslim sedang dihinggapi kondisi yang kurang baik. Mereka cenderung terpecah-belah.
Ada kubu Jakarta, kubu Bandung, kubu Yogya, dan lain-lain. Salah satu pangkal perpecahannya, mereka saling tidak sepakat soal gagasan yang dilontarkan Cak Nur.
Suatu ketika, ‘Imaduddin silaturahim kepada kawannya, Aswab Mahasin. Darinya, dia kemudian mengetahui adanya forum komunikasi antar-cendekiawan yang dibentuk tokoh militer Achmad Tirtosudiro.
Namun, forum itu kurang mampu menyatukan Bandung vis-à-vis Jakarta. Mahasin menyebut, ‘Imaduddin cocok mengambil peran merangkul kubu-kubuan yang ada. Sebab, masing-masing mereka menaruh respek kepadanya. Sebutan penghormatan "Bang 'Imad" juga marak dipakai sejak era ini.
Ikhtiar pun dimulainya. Pada 1989, insinyur ITB tersebut mengundang sejumlah tokoh untuk menghadiri pertemuan sederhana di Yogyakarta. Kehadiran Cak Nur membuat orang-orang yang berseberangan dengannya enggan datang. Apalagi, sejumlah aparat kepolisian kemudian datang. Mereka mengimbau agar pertemuan tadi dibubarkan. Begitulah tekanan intelejen kepada kalangan intelektual Muslim saat itu.
Meski demikian, pertemuan jalan terus. ‘Imaduddin akhirnya mendapati bahwa poros-poros Bandung, Surabaya, dan Jakarta ternyata menerima kehendak berdirinya suatu perhimpunan.
Diadakanlah sebuah diskusi kecil informal, yang dihadiri kira-kira 70 orang. Mereka antara lain, Syafi’i Ma’arif, Cak Nur, dan Endang Syaifuddin Anshari. Disepakatilah nama perhimpunan itu: Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Ikut Merintis ICMI
Waktu terus bergulir. Pada Mei 1989, Bang ‘Imad menerima sejumlah tamu, para aktivis Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang. Di antara mereka adalah Erik Salman.
Kepada Erik Salman dkk., Bang ‘Imad mengatakan perlunya mencetuskan sebuah wadah cendekiawan Muslim. Mereka pun setuju dan kembali ke Malang sembari mengupayakan persiapan.
Sebelumnya, rektor Unibraw ZA Ahmady, yang juga mantan aktivis HMI, pernah meminta Bang ‘Imad agar bersedia pindah ke fakultas teknik Unibraw, alih-alih tetap di ITB. Tujuan lainnya, sang rektor ingin Bang 'Imad membesarkan masjid setempat agar seaktif Salman ITB.
Dengan sopan, dikatakannya bahwa dirinya tak harus pindah dari ITB supaya aktivitas dakwah kian berkembang di Unibraw. Pada awal Juni, Erik Salman kembali menemui Bang 'Imad seraya membawa proposal simposium.
Bang ‘Imad lantas membawa dokumen ini kepada menteri agama saat itu, Alamsyah R Prawiranegara. Sang menteri menyambutnya dan menyarankannya agar Prof Bacharuddin Jusuf Habibie mengisi simposium itu. Saran tersebut diterima dengan antusias.
Alamsyah lantas menelepon Habibie, yang kemudian bersedia ditemui ‘Imaduddin dkk. Pada 23 Agustus 1990, Bang ‘Imad yang ditemani sejumlah aktivis Unibraw serta beberapa akademisi Muslim, bertemu dengan tokoh kelahiran Parepare itu. Lokasi pertemuannya di musola kantor BPPT Jakarta.
Bang 'Imad berupaya meyakinkan sang lulusan Aachen, Jerman, tersebut. Bukan hanya soal signifikansi simposium, tetapi juga ikhtiar dalam pembentukan ICMI. BJ Habibie juga diminta kesediaannya untuk menjadi ketua umum perhimpunan tersebut--bilamana berhasil terbentuk.
Habibie lantas menyarankan Bang 'Imad dan tim agar membuat proposal yang lebih rapi. Dokumen itu dimaksudkannya untuk dibawa kepada Presiden Suharto. Syaratnya, proposal tersebut mesti ditandatangani minimal 20 orang doktor.
Singkat cerita, 49 tanda tangan terkumpul. Termasuk yang membubuhkan tanda tangan di sini adalah Cak Nur.
Sosok yang belakangan mendirikan Universitas Paramadina itu bersedia ikut tanda tangan setelah mengetahui adanya sosok Bang ‘Imad di balik upaya pembentukan ICMI. Proposal yang dimaksud diterima BJ Habibie. Dibawanya dokumen ini kepada Presiden.
Habibie sungguh terkejut. Sebab, dalam pertemuan enam jam lamanya dengan sang RI-1, Suharto tidak hanya menyetujui. Presiden justru menyarankannya agar menerima proposal ini.
Singkat cerita, Presiden Suharto merestui pembentukan ICMI. Habibie selaku ketua umum. Pada 6 Desember 1990, dengan berbusana khas santri, Presiden Suharto menabuh bedug sebagai tanda pembukaan kongres pertama ICMI.
Sepanjang periode 1990-an, hubungan Orde Baru dengan umat Islam cukup mesra. Di samping ICMI, muncul kemudian bank syariah pertama Bank Muamalat dan pers Islam, Harian Republika.
BJ Habibie
Kesan Bang 'Imad tentang Habibie
Memang, naiknya BJ Habibie ke tampuk pimpinan ICMI dapat diterjemahkan sebagai “jembatan komunikasi” antara kaum terpelajar Muslim saat itu—atau kelas menengah Islam umumnya-- dan penguasa.
Bagaimanapun, kesediaan suami (alm.) Hasri Ainun tersebut tidak lepas dari lobi-lobi yang diupayakan Bang ‘Imad. Mengikuti saran Menag Alamsyah, sosok Habibie dipandangnya tepat memimpin ICMI.
Toh kapasitas keilmuannya tak terbantahkan dalam hal sains dan teknologi. Bahkan, pria yang kelak menjadi presiden RI ketiga itu dinilainya juga berani menyuarakan kepentingan Islam.
Satu kasus yang menggambarkan hal itu, yakni ketika Habibie menjelang simposium di Unibraw 6 Desember 1990. Datanglah seorang intel yang menyuruh pihak panitia agar meniadakan acara tersebut.
Mendengar ini, sontak amarahnya meledak. Dibentaknya intel tersebut. Bahkan, Habibie sampai-sampai menantangnya supaya menembaknya di tempat daripada simposium tersebut harus dibatalkan. Genius dan pemberani serta teguh dalam prinsip. Itulah Habibie.
Bang 'Imad Wafat
Pada 2 Agustus 2008, Bang ‘Imad menghembuskan nafas terakhir. Cendekiawan-pejuang ini wafat dengan tenang di rumahnya yang beralamat di Klender, Jakarta Timur.
Sebelumnya, sakit stroke telah membuatnya berulang kali masuk rumah sakit. Walau sempat mereda setelah berobat alternatif di Bekasi, takdir berkata lain. Dia wafat dan meninggalkan duka mendalam bagi keluarga dan kawan-kawannya serta umat pada umumnya. Jasad Bang 'Imad dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata (Jakarta).
Sepanjang hayatnya, Bang ‘Imad menikah sebanyak tiga kali. Dari istri pertama, tak kunjung dikaruniai buah hati.
Pada 1967, pernikahan kedua dimulainya bersama perempuan bernama Amanah. Ketiga anak mereka perempuan, sedangkan Bang ‘Imad mendambakan seorang putra.
Pada 1996, dia menikah dengan Lailatul Qudsiyah, sementara mempertahankan rumah tangga dengan Siti Amanah. Dari pernikahan yang terakhir ini, lahirlah seorang anak laki-laki.