Rabu 06 Mar 2019 01:41 WIB

Uji Materi UU Pemilu Mungkin Segera Diputuskan

Saat ditanya uji materi UU Pemilu, jubir MK mengingatkan tentang kasus tahun 2009.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Hasanul Rizqa
Mantan Wakil Menkum HAM, Denny Indrayana (tengah) bersama Penelitii utama NETGRIT, Hadar Nafis Gumay (ketiga kanan) dan Direktur PERLUDEM, Titi Anggraini (ketiga kiri) dan sejumlah aktivis Pemilu membentangkan spanduk usai mendaftarkan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama yang terkait dengan syarat prosedur administratif di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Foto: Antara/Reno Esnir
Mantan Wakil Menkum HAM, Denny Indrayana (tengah) bersama Penelitii utama NETGRIT, Hadar Nafis Gumay (ketiga kanan) dan Direktur PERLUDEM, Titi Anggraini (ketiga kiri) dan sejumlah aktivis Pemilu membentangkan spanduk usai mendaftarkan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, terutama yang terkait dengan syarat prosedur administratif di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa (5/3/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemilihan umum (pemilu) pada tahun ini akan digelar kurang-lebih satu bulan lagi. Terkait hal itu, ada kemungkinan permohonan uji materi terhadap sejumlah pasal dalam UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 bisa diputuskan selekasnya. Hal itu diungkapkan juru bicara Mahkamah Konstitusi (MK), Fajar Laksono.

Namun, menurut dia, suatu putusan yang cepat tergantung pada permohonan dan keyakinan hakim MK dalam memandang urgensi dari uji materi itu. “Kalau memang oleh hakim bisa diyakinkan ini harus cepat dan kemudian ada kesepahaman antara hakim dan pemohon untuk diputus segara, apalagi itu agenda nasional yang sangat terkait dengan pelaksanaan hak konstitusional pemilih. Itu bisa dipastikan segera putus,” ujar Fajar Laksono di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Selasa (5/3).

Baca Juga

MK diketahui pernah memutuskan perkara uji materi secara cepat. Hal itu terjadi pada 2009 lalu. Saat itu, MK memutus perkara Nomor 102 Tahun 2009 yang membolehkan warga negara untuk bisa mencoblos menggunakan KTP.

Menurut Fajar,  saat itu hakim MK meyakini uji materi tersebut sangat mendesak untuk segera diputuskan. Sebab, hal itu terkait hak konstitusional warga negara dalam memilih.

“Kalau kemungkinan (cepat diputuskan) pasti ada. Karena itu, putusan 102 tahun 2009 itu berdasarkan pertimbangan MK melihat bahwa ada persoalan besar. Sehingga kalau MK tidak segera memutus ini, apakah itu akan terjadi lagi dalam perkara ini, kapan putusan perkara ini harus diputus,” jelas Fajar.

Kasus pada 2009 silam itu terkait putusan MK yang kasuistik.  Saat itu, terjadi kegentingan karena dua dari tiga pasangan calon yang bertarung di pemilihan presiden (Pilpres) 2009 mengancam mundur jika persoalan daftar pemilih tetap (DPT) tidak dibenahi. Kedua paslon tersebut menganggap persoalan DPT telah merugikan mereka.

“Kemudian datang pemohon ke MK terkait hak pilih warga negara. Tentu MK melihat itu juga kacau ini negara kalau UU Pemilu itu justru mentok, orang yang tidak tercantum oleh DPT tidak bisa menggunakan hak pilih, kacau juga kalau capres itu mengundurkan diri karena konstitusi tidak mengatur kalau capres itu cuma satu atau tunggal,” ungkap Fajar.

Dalam konteks kondisi yang demikian, akan terbuka kemungkinan uji materi UU Pemilu bisa segara diputuskan oleh MK. Yang terpenting, Fajar menekankan, para pemohon bisa meyakinkan hakim MK bahwa uji materi tersebut sangat penting untuk mendapatkan putusan segera.

"Mari kita kawal dalam sidang pendahuluannya, apakah kemudian di situ pemohon benar-benar clear dalam menyampaikan permohonan. Mudah-mudahan kalau semua lancar, bisa-lah satu setengah bulan cukup, terlepas dari apa pun putusannya,” tegas Fajar.

Sebelumnya, sejumlah pihak melakukan uji materi terhadap UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Uji materi ini dilakukan demi menyelamatkan hak suara pemilih pada Pemilu 2019.

Kuasa Hukum Para Pemohon, Denny Indrayana, mengatakan uji materi UU Pemilu ini diajukan oleh tujuh pihak pemohon.

Mereka adalah Perludem, Pendiri Netgrit Hadar Nafis Gumay, Direktur Pusako Universitas Andalas Fery Amsari, Warga Binaan Augus Hendy dan A. Murogi Bin Sabar serta karyawan swasta Muhamad Nurul Huda dan Sutrisno.

“Kami sudah mendaftarkan permohonan uji konstitusionalitas untuk UU Pemilu. Permohonan ini tujuan utamanya adalah menyelamatkan suara rakyat pemilih,” ujar Denny usai mendaftarkan uji materi di Gedung MK, Selasa (5/3).

Para pemohon ini menguji pasal 348 ayat (9), Pasal 348 ayat (4), Pasal 210 ayat (1), Pasal 350 ayat (2), dan Pasal 383 ayat (2) UU Pemilu. Pasal-pasal ini dinilai menghambat dan berpotensi menghilangkan hak pemilih dan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 22E ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28 C ayat (2), Pasal 28 D ayat (1), Pasal 28D ayat (3), Pasal 28I ayat (2) dan Pasal 28I ayat (4).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement