REPUBLIKA.CO.ID,
TRIPOLI— Libya harus menggelar pemilihan presiden sekaligus parlemen pada akhir tahun ini.
Pernyataa ini disampaikan Perdana Menteri yang diakui secara internasional Fayez al-Serraj, Selasa (5/3).
Sejak tergulingnya almarhum pemimpin Muammar Gaddafi, Libya didera konflik. Oleh karena itu, PBB memiliki rencana agar negara penghasil minyak di Afrika Utara tersebut menggelar pemilu pada 10 Desember sebagai jalan keluar.
Namun, mengingat banyaknya kekerasan dan kurangnya pemahaman di antara para pesaing membuat pesta demokrasi tak mungkin berjalan mulus.
Libya terbagi atas dua faksi yakni pemerintahan yang diakui internasional di Tripoli dan pemerintahan Khafila Haftar di bagian timur, yang pasukannya menguasai wilayah tersebut.
Pekan lalu, Serraj bertemu dengan Haftar di Abu Dhabi namun hingga saat ini belum ada sedikit bocoran informasi.
Dalam pidato di Tripoli, Serraj mengatakan bahwa dirinya dan Haftar sepakat menggelar pemilu pada akhir tahun.
“Pertemuan dengan Haftra untuk menghentikan pertumpahan darah, mencapai rumusan menghindari konflik dan eskalasi militer di negara kami,” kata Serraj.
Serraj tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai hal itu.
Pasukan Haftar, Tentara Nasional Libya, menyebar ke bagian selatan sejak Januari guna mengamankan ladang minyak utama. Ada pembicaraan bahwa mereka mungkin akan bergerak ke utara untuk merebut ibu kota di Libya barat.