REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Operasional kereta bawah tanah atau Moda Raya Terpadu (MRT) segera dilakukan bulan Maret ini. Pembangunan MRT tersebut menelan dana hingga Rp 16 triliun yang bersumber dari anggaran APBN dan APBD DKI Jakarta. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyatakan, setelah beroperasi, balik modal MRT tidak akan hanya bersumber dari penjualan tiket.
“Biaya sebesar Rp 16 triliun tidak akan kembali seluruhnya dalam bentuk tiket. Tapi keseluruhan dampak yang ditimbulkan dari adanya MRT akan memberikan nilai ekonomi,” kata Sri usai meninjau persiapan operasional MRT di Halte Senayan, Jakarta, Rabu (6/3).
Sri mengatakan, 13 stasiun pemberhentian MRT yang saat ini sudah selesai dibangun akan memberikan dampak ekonomi. Sebab, harga-harga properti di sekitar lintasan dan stasiun MRT akan meningkat.
Di satu sisi, banyak perusahaan yang berkantor di sekitar stasiun MRT meminta agar stasiun tersebut diberi nama perusahaannya. Menurut Sri, penggunaan nama perusahaan pada stasiun MRT akan memberikan penerimaan kepada PT MRT yang nantinya juga berkontribusi pada penerimaan negara.
“Dan, properti di dalamnya yang sudah di sewa oleh perusahaan-perusahaan juga akan menimbulkan biaya sewa dan kegiatan ekonomi,” ujarnya.
Meski begitu, Sri belum mengetahui detail seberapa besar nilai ekonomi yang akan ditimbulkan dari adanya MRT. Karena itu, ia meminta kepada tim Kementerian Keuangan dan PT MRT untuk mulai melakukan kajian untuk menghitung dampak ekonomi yang ditimbulkan. Sebab, kereta bawah tanah merupakan moda transportasi terbaru yang akan membuat Jakarta menjadi lebih modern.
Sementara itu, Sri memaparkan, daya tampung MRT dalam sehari mampu mengangkut penumpang sebanyak 130 ribu orang. Para penumpang, ujar Sri, akan lebih dapat menghemat waktu perjalanan yang selama ini selalu habis akibat kemacetan di jalan raya. Karena itu, Sri mengatakan, selain nilai ekonomi, MRT juga akan memberikan efisiensi waktu para pengguna transportasi umum.
“Akan ada flow 130 ribu orang per hari setiap lima menit. Kita membayangkan mobilitas manusia yang luar biasa sehingga akan ada permintaan turunan. Baik dari makanan, minuman, termasuk mungkin keputusan untuk tempat tinggal,” ujar Sri.
Sebagai informasi, pendanaan proyek MRT Fase I dan II berasal dari 49 persen APBN (on-grating) dan 51 persen APBD Pemprov DKI Jakarta (on-lending). Meski pendanaan terlihat besar, dibandingkan dengan pengeluaran jumlah BBM yang harus dikeluarkan pengendara, MRT diyakini lebih hemat.
Sri menambahkan, pembangunan MRT dapat terealisasi karena menggunakan pendekatan ekonomi. Yaitu dengan solusi dapat memangkas waktu tempuh perjalanan. Studi kelayakan atau feasibility study yang sudah dimulai sejak 1990 hanya fokus pada finansial. Terutama berkutat pada persoalan untung rugi. Alhasil, proyek tersebut tak kunjung selesai selama 30 tahun belakang.