REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG— Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Nusa Tenggara Timur menilai perayaan Hari Raya Nyepi bagi umat Hindu merupakan perekat dalam membangun hubungan kekerabatan antarumat beragama di daerah ini.
"Pertama saya mengucapkan selamat Hari Raya Nyepi dan semoga kedamaian dan kerukunan tetap langgeng di NTT," kata Ketua MUI NTT, Abdul Kadir Makarim, kepada Antara di Kupang, Rabu (6/3), terkait dengan perayaan Hari Raya Nyepi yang jatuh pada Kamis (7/3).
Kedua, tentunya karena perayaan Nyepi ini berbarengan dengan dimulainya masa puasa bagi umat Katolik yang ditandai dengan penerimaan Abu pada Rabu (6/3).
"Di sisi lain, perayaan dua hari raya keagamaan ini berlangsung pada saat bangsa Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi berupa Pileg dan Pilpres pada 17 April 2019, yang kami harapkan dapat membawa angin sejuk dalam membangun kebersamaan di negeri ini," katanya.
Menurut Makarim, kondisi ini terjadi karena saat ini aroma perpecahan antaranak bangsa mulai tercium di mana-mana, terutama di media sosial (medos).
Menurut dia, saling menghina, saling mengejek, saling memfitnah satu sama lain, sesungguhnya sangat mengganggu umat beragama yang sedang merindukan kedamaian dan kenyamanan dalam hidup.
"Ingat bahwa tekad kita masyarakat NTT tetap menjadikan NTT sebagai Nusa Tetap Tenang (NTT) untuk mewujudkan terciptanya Nusa Terindah Toleransi (NTT)," katanya.
Dia menyebutkan, boleh berbeda dalam memilih tapi tidak berarti harus berbeda dalam segalanya. “Kita masih masyarakat NTT yang terus merindukan Nusa Terindah Toleransi," katanya.
Dalam rangka menyambut Hari Raya Nyepi, Umat Hindu di Kota Kupang menggelar berbagai kegiatan. Salah satunya adalah pawai Ogoh-ogoh.
Sedangkan umat Katolik mengawali masa puasanya dengan menerima abu sebagai bentuk pertobatan selama masa penantian.
Makarim berharap semua perayaan bisa berjalan dengan lancar. "Saya senang karena ada pawai ogoh-ogoh. Agama dan budaya bisa berjalan beriringan," ucap Makarim.