REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hayati Syafri, Dosen IAIN Bukittinggi melakukan audiensi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Selasa (6/3). Dalam audiensi tersebut Hayati mengadukan seluruh keluhan yang selama ini ia rasakan terkait pemberhentiannya oleh Kemenag kepada Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Pusat, Arwani Faishol dan Ketua Komisi Perempuan, Remaja dan Keluarga, Azizah.
"Hayati Syafri menceritakan bagaimana ia mendapatkan diskriminasi pemaksaan untuk melepas cadarnya yang mengakibatkan penonaktifan dirinya sebagai dosen dan berujung pada keluarnya SK Kemenag tentang Pemberhentian dirinya sebagai PNS," kata Koordinator Tim Pusat Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM) Indonesia, Busyra, Selasa (7/3) kepada wartawan.
Selain itu, Hayati juga menceritakan bagaimana pihak kampus melakukan pemaksaan pelarangan cadar dengan mengeluarkan Surat Edaran yang ditandatangani langsung oleh Dekan FTIK IAIN Bukittinggi. Sehingga berimbas pada mahasiswi yang sudah terbiasa bercadar ditekan untuk melepaskan cadarnya.
Menanggapi fakta-fakta yang disampaikan Hayati, Arwani Faishol berpendapat, penggunaan cadar merupakan bagian dari syariat islam. "Salah besar jika menganggap bahwa cadar adalah simbol radikalisme dan anti-Pancasila," ujar Arwani.
Arwani menambahkan, bagi yang bermahzab Syafii, wajah dan telapak tangan adalah bagian dari aurat sehingga harus ditutup kecuali pada waktu shalat. "Fungsi dari penggunaan cadar sebagai bagian dari hijab untuk menutupi wajah yang masuk dalam kategori aurat berdasarkan Mahzab Syafii,"tambahnya.
Busyra menambah, mengacu pada kebebasan beragama yang dijamin oleh UUD 1945, kebebasan beragama juga mencakup pada pelaksanaan syariah sesuai dengan mahzab yang diyakini. Sehingga seseorang yang meyakini Mahzab Syafii, tidak boleh dipaksa menjalankan praktek ibadahnya dengan mahzab lain.
Arwani akan membahas dan menindaklanjuti hasil audiensi tersebut dalam rapat internal komisi fatwa. Sama halnya dengan Arwani, Azizah pun akan membahas masalah ini di Komisi yang dipimpinnya.