REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Para perempuan Indonesia yang berkiprah dalam industri pelayaran masih seringkali mengalami stigma, mulai dari dinilai lemah hingga rentan pelecehan seksual. Tapi Indonesian Lady Seafarers (ILS) ingin mengubah hal itu.
Organisasi yang kini menghimpun sekitar 200 pelaut perempuan di Indonesia menyuarakan semakin terbatasnya kesempatan bagi mereka berkarir di industri ini. Imbas dari krisis ekonomi global menyebabkan pertumbuhan induistri ini tergerus. Akibatnya, peluang bagi pelaut perempuan juga semakin terbatas.
Koordinator ILS Asia Yudha Ermerra membenarkan hal itu. "Sekarang kesempatan perempuan menjadi pelaut yang benaran pelaut di kapal masih sulit," ujarnya.
"Bisa bergabung ke kapal saja sudah beruntung, apalagi bisa berkarir sampai menjadi nahkoda," kata Era, nama panggilannya.
"Pekerjaan di laut yang semakin berkurang akibat merosotnya harga minyak dunia serta barang tambang/batubara," katanya.
"Di tengah situasi ini perusahan lebih memilih pelaut laki-laki daripada perempuan."
Menurut Era, hal itu tidak terlepas dari masih kuatnya stigma terhadap perempuan pelaut di Indonesia.
"Banyak perusahaan menutup pintu karena menilai masa berkarir perempuan di pelayaran sebentar, paling lima tahun. Setelah itu menikah dan tak berlayar lagi," katanya.
Faktor lain, menurut dia, yaitu menyangkut persoalan kenyamanan, karena perusahaan tidak mau berurusan dengan laporan miring seperti pelecehan seksual di kalangan pekerjanya di kapal.
Berikut sejumlah sosok pelaut perempuan yang bekerja di industri pelayaran.
Tepis stigma pelaut perempuan
Yuni Kartika, adalah pelaut perempuan yang bekerja di kapal pengangkut batu bara dan bertugas sebagai Mualim III. Ia bertugas menavigasikan kapal angkutan dari pelabuhan batubara terbesar di Tarahan Lampung untuk dipasok ke Pembangkit Listrik Tenaga uap (PLTU) Suralaya, Cilegon.
Sebagai satu-satunya perempuan di kapal tanker tersebut, Yuni Kartika mengaku menghadapi tantangan untuk mematahkan stigma yang banyak disematkan pada pelaut perempuan.
"Rata-rata perusahaan menilai perempuan itu lemah, manja, susah diandalkan untuk pekerjaan di kapal yang memang kerja berat dan menuntut orang untuk sigap," ujarnya.
"Saya berusaha menepis gambaran itu dengan bekerja sebaik mungkin. Dan saya juga mencontohkan ke anak buah, kalau perempuan mampu melakukan pekerjaan yang sama dengan laki-laki. Saya lakukan semua pekerjaan tidak hanya menavigasi kapal tapi juga mengecat, menarik tali temali, menghilangkan karat dan lain-lain," tuturnya.
Yuni membenarkan pelaut perempuan saat ini sulit mendapat pekerjaan di tengah pelambatan pertumbuhan industri pelayaran serta adanya stigma ini.
"Rekan saya seangkatan di Akademi Pelayaran Niaga Indonesia (Akpelni) sulit mencari kerja, mereka banyak yang menganggur," ujarnya.
Anggapan rentan pelecehan seksual
Sejak lulus jurusan nautika dari Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang tahun 2015, Dian Ambar Wati langsung berkarir di kapal tanker. Saat ini dia berpangkat mualim III, bertanggung jawab menavigasi kapal angkutan gas elpiji ke berbagai daerah di Indonesia.
"Perairan Indonesia cukup tenang. Paling, kecuali pas sedang cuaca buruk. Selebihnya yang perlu diwaspadai adalah lalu-lintas kapal dan nelayan," tuturnya.
Perempuan kelahiran Temanggung berusia 26 tahun ini mengaku pelaut perempuan Indonesia tidak mendapatkan perbedaan perlakuan dalam hal pendapatan maupun peluang jenjang karir. Dia mengakui fitrah perempuan untuk melakukan peran domestik sebagai ibu rumahtangga seringkali menjegal karir mereka di pelayaran.
"Saya akui kebanyakan karir perempuan di laut itu berhenti setelah berkeluarga. Tapi tergantung masing-masing individu. Banyak pelaut perempuan berhasil meniti karir sampai jadi kapten meski telah menikah. Jadi peluang itu harusnya tetap dibuka untuk perempuan," katanya.
Selain itu, kata Ambar, lingkungan pekerjaan yang didominasi laki-laki memang menimbulkan anggapan miring soal pelaut perempuan yang jadi obyek pelecehan rekan prianya di lautan.
Ambar menepis anggapan itu. Menurut dia, semuanya berpulang pada diri pelaut perempuan sendiri ketika menghadapi kru laki-laki.
"Asal kita tidak macam-macam dan professional, mereka juga akan segan. Selama pendidikan di PIP, kita juga sudah diajarkan bagaimana lingkungan kerja di kapal, waktu kerja dan tugas jaga. Jadi kita sudah memiliki gambaran," ujarnya.
Teknisi kapal perempuan masih langka
Rahayu Novi Widya (26 tahun), menjabat sebagai perwira mesin di kapal penumpang milik PT Pelayaran Nasional Indonesia (PT PELNI) sejak tiga tahun belakangan. Lulusan teknik mesin Politeknik Ilmu Pelayaran Semarang ini mengaku bertanggung jawab atas kelancaran operasional mesin bantu di kapal penumpang rute Surabaya - Kumai - Surabaya - Sampit, Sampit - Semarang dan Semarang - Karimun Jawa.
Novi mengaku masih belum banyak perempuan yang menekuni profesi sebagai teknisi kapal.
"Setahu saya untuk perempuan yang jadi engineer kapal itu masih sedikit. 10 banding 1 dengan perwira mesin," ungkapnya.
Ia mengakui bekerja sebagai teknisi kapal memang menuntut stamina dan kekuatan fisik. Fakta ini menguatkan stigma kalau perempuan tidak mampu melakukan pekerjaan berat di kapal.
"Kebanyakan perusahaan tidak terima engineer kapal perempuan karena menganggap perempuan lemah dan kalau di kapal hanya menjadi beban. Banyak rekan saya sesama lulusan teknik kapal ditolak," katanya.
"Di awal karir saya juga sempat disepelekan. Kamu apa iya bisa kerja, nanti harus buka mur kapal yang besar dan berat, harus pegang kunci berat. Tapi saya bertekad, kalau laki-laki bisa melakukannya, saya juga bisa," ujar Novi.
"Karena itu sejak awal saya berusaha membuktikan bisa melakukan tugas dengan baik dan lancar, bisa menyelesaikannya tanpa kendala," katanya.
Novi optimistis di masa depan karir sebagai teknisi kapal akan semakin bagus, karena masih sedikit yang menekuninya.
Ikuti juga berita lainnya dari ABC Indonesia.