REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Era globalisasi membuat dunia seakan tanpa batas. Siapapun kini dapat mengunjungi berbagai macam tempat di dunia dengan mudah dan cepat. Kenyataan ini membuat negara-negara di dunia berlomba untuk memajukan sektor pariwisatanya.
Peningkatan-peningkatan yang dilakukan di sektor pariwisata tentunya akan berimbas pada kenaikan jumlah turis yang berkesinambungan dengan kenaikan pendapatan suatu negara dan citranya di mata dunia.
Indonesia memiliki potensi pariwisata yang luar biasa. Ragam budaya, wisata alam, serta keunikan eksotis yang dimiliki masing-masing wilayah di Indonesia menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan domestik maupun luar negeri. Dilansir dari data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2018 kunjungan wisatawan mancanegara meningkat sebanyak 12.58 persen ke angka 15.81 juta kunjungan dibandingkan dengan kunjungan pada tahun 2017 yaitu sebanyak 14.04 juta kunjungan.
Kenaikan jumlah kunjungan ini selalu terjadi dalam 1 dekade terakhir, membuat usaha peningkatan kualitas pariwisata Indonesia patut diapresiasi. Ironisnya, makin tingginya tingkat kunjungan wisatawan ke Indonesia tak diimbangi dengan layanan Travel Medicine.
Padahal, jika disadari Travel Medicine merupakan investasi penting bagi pengembangan pariwisata Indonesia di masa yang akan datang. Setiap negara, termasuk Indonesia, selayaknya menyediakan layanan Travel Medicine yang dapat dimanfaatkan oleh para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara, dan oleh para warga negara Indonesia yang akan melakukan perjalanan.
Sayangnya, peran pemerintah dalam hal ini masih belum terlihat. Peran ini menjadi hal yang paling penting yang dapat diaplikasikan melalui pembuatan peraturan nasional terkait Travel Medicine secepatnya dan turut membangun dan meningkatkan kualitas sarana dan prasana pendukungnya.
Selain itu, standarisasi dan sertifikasi terhadap tenaga medis dan fasilitas pelayanan kesehatan di seluruh Indonesia yang akan melakukan praktek Travel Medicine turut menjadi hal utama yang perlu diperhatikan oleh pemerintah.
Hal ini disebabkan kelalaian kecil saja dalam menangani masalah kesehatan wisatawan yang tidak segera diperbaiki dapat menjadi kerugian bagi negara dengan risiko terbesarnya adalah hilangnya kepercayaan para wisatawan untuk mengunjungi destinasi wisata di Indonesia yang berujung pada semakin menurunnya pemasukan negara dari sektor pariwisata.
Menyadari urgensi ini, Indonesia One Health University Network (INDOHUN) berupaya mengambil peran untuk membangunkan kembali upaya optimalisasi layanan Travel Medicine di Indonesia yang tengah tertidur dengan menyelenggarakan Pelatihan Travel Medicine yang bertempat di Denpasar, Bali, 6-7 Maret 2019.
Training diberikan kepada dokter-dokter potensial yang akan menjadi inisiator pengembangan praktik Travel Medicine di Indonesia. Para pelatih yang merupakan ahli Travel Medicine terkemuka turut dihadirkan demi menjaga kualitas pelatihannya, yaitu Dr. Jenny Visser (Otago University), Prof. Michael Starr (Infectious Diseases Physician, Infectious Diseases Unit, Department of General Medicine, The Royal Children's Hospital, Melbourne, Australia), dan Prof. Davidson H. Hamer, MD, FACP, FIDSA, FASTMH, FISTM (Fellow of International Society of Travel Medicine dan Professor in Global Health and Medicine, Boston University).
Secara intensif, para peserta training dibekali seluruh konsep travel medicine, pengenalan terhadap risiko-risiko penyakit yang dapat menyerang wisatawan, penanganan yang dapat diterapkan, serta usaha preventif yang harus dilakukan sebelum wisatawan melakukan perjalanan.
Pelatihan ini diharapkan dapat menjadi pemicu dan pemacu bagi pemerintah untuk mulai memperhatikan pentingnya meningkatkan kualitas layanan Travel Medicine demi kemajuan sektor pariwisata Indonesia. Selain itu, INDOHUN juga akan mengembangkan pelatihan sejenis untuk mendukung pemerintah dalam mempersiapkan sumber daya manusia siap pakai, khususnya sumber daya manusia yang akan mengabdi di bidang Travel Medicine.