REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Majelis Tarjih PP Muhammadiyah Ma'rifat Iman menjelaskan, ada beberapa ketentuan untuk pelunasan utang berpuasa. Salah satunya diperbolehkan untuk melunasinya setelah puasa sunah Syawal.
"Puasa Syawal kan waktunya terbatas, hanya bisa dilakukan pada bulan Syawal. Dianjurkan berpuasa qadha dulu baru puasa Syawal. Tapi boleh juga puasa Syawal dulu baru qadha, karena waktu untuk bayar qadha masih panjang," ujar Ustaz Ma'rifat, Sabtu (9/3).
Hal ini berbeda dengan puasa sunah lainnya. Seseorang yang berutang puasa Ramadhan diharuskan membayar puasanya dulu baru bisa berpuasa sunah lainnya. Hal ini berlaku untuk perempuan dan laki-laki.
Apabila seseorang belum membayar puasa Ramadhan di tahun sebelumnya hingga menjelang tujuh hari sebelum Ramadhan, maka orang tersebut diharuskan membayar dua kali lipat batalnya puasa. Misalnya, apabila batal tiga hari, harus membayar puasa sebanyak enam hari atau sekali bayar puasa ditambah dengan fidyah. Hal ini berlaku untuk laki-laki.
Khusus untuk perempuan hamil dan ibu menyusui, bisa membayar fidyah dan berpuasa qadha. Sedangkan untuk lansia, diperbolehkan mengganti puasa dengan hanya membayar fidyah.
"Untuk perempuan yang lupa jumlah hari batalnya puasa, bisa melebihkan jumlah hari puasa qadha. Bagus lebih, daripada kurang. Tapi jangan dibiasakan lupa, harus ditandai," ujarnya.
Adapun bagi yang sengaja membatalkan puasa padahal dalam kondisi sehat, dia diharuskan membayar kafarat atau denda dengan berpuasa dua kali lipat. Bagi yang sudah wafat sebelum tiba puasa Ramadhan selanjutnya dan belum mengganti puasa, ahli waris dianjurkan meringankan bebannya dengan membayar puasa qadha. Namun, hal itu tidak diwajibkan karena tidak ada dosa yang diturunkan.
"Hal ini berbeda dengan utang harta yang diumumkan keluarga saat yang bersangkutan meninggal karena shalat atau puasa itu menyangkut pribadi masing-masing. Mereka juga belum tentu tahu berapa banyak utang puasa anggota keluarga yang wafat," katanya.