REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ahli hukum dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Bivitri Susanti menilai bahwa RUU Permusikan harus dicabut secara keseluruhan, baik dari sisi substantif maupun partisipatif. Menurutnya, RUU Permusikan masih dalam daftar prioritas tahunan di Badan Legislatif (Baleg) DPR, karena belum dicabut secara partisipatif.
"Secara substansi dan partisipasi memang RUU ini harus dicabut terlebih dahulu, sehingga hilang dari daftar prioritas tahunan di Badan legislasi," ujar Bivitri dalam diskusi terkait RUU Permusikan di Galeri Foto Jurnalistik Antara Jakarta, Sabtu (9/3)
Menurut Bivitri, meskipun RUU tersebut sudah dicabut oleh pengusulnya yaitu anggota DPR Komisi X Anang Hermansyah, namun RUU tersebut masih dalam daftar prioritas tahunan di Baleg. "Itu karena baru dicabut secara personal, bukan secara partisipatif," ucap Bivitri.
Dalam tahap inilah seluruh pemangku kepentingan di industri musik dapat berdiskusi dan menyatukan pendapat. "Kalau memang mau ada peraturan tentang musik, silakan dilakukan prosedur yang lebih terbuka dan partisipatif," kata Bivitri.
Lebih lanjut Bivitri menjelaskan, bila dilihat dari prosedur penyusunan undang-undang, RUU Permusikan ini masih dalam tahap perencanaan sehingga sebenarnya belum dibahas. "Pembahasan itu hanya oleh DPR dan pemerintah, kalau perencanaan sudah jadi. Sementara aturan ini masih dalam perencanaan dan masuk dalam Prolegnas atau prioritas tahunan," jelas Bivitri.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Atgas sebelumnya mengatakan bahwa RUU Permusikan masih bergulir di Baleg, meskipun Anggota Komisi X Anang Hermansyah sebagai salah satu pengusul telah mencabut usulan RUU tersebut.
Menurut Andi, RUU ini secara resmi dapat dicabut namun harus melewati evaluasi rapat kerja kembali, karena prioritas tahunan ditentukan oleh tiga lembaga yaitu Pemerintah dalam hal ini Menkum HAM, DPR dan DPD. RUU Permusikan ini menuai banyak penolakan karena sejumlah pasal di dalamnya membuat pekerja musik tidak mendapatkan kebebasan dalam berkarya.