Selasa 12 Mar 2019 15:12 WIB

Pengemudi Ojol Inginkan Tarif Batas Bawah Rp 3.000 per Km

Untuk tarif batas atas, pengemudi ojek online (ojol) mengusulkan Rp 3.500 per km

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Presiden Joko Widodo bertemu dengan ribuan pengemudi transportasi online Gojek, Grab, dan Bluebird dalam Silaturahmi Nasional Pengemudi Online bersama Presiden Jokowi di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Sabtu (12/1).
Foto: Republika/Dedy D Nasution
Presiden Joko Widodo bertemu dengan ribuan pengemudi transportasi online Gojek, Grab, dan Bluebird dalam Silaturahmi Nasional Pengemudi Online bersama Presiden Jokowi di Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Sabtu (12/1).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pekan depan, regulasi pemerintah tentang ojek online atau Ojol akan diterbitkan. Pembahasan besaran tarif per kilometer menjadi salah satu bahasan yang paling utama.

Pemerintah memberikan sinyal, tarif batas bawah kemungkinan sekitar Rp 2.000 per kilometer. Namun, pengemudi tetap menginginkan Rp 3.000 per kilometer.

Baca Juga

“Kami masih menginginkan tarif Rp 3.000 per kilometer. Itu untuk tarif batas bawah,” kata Presidium Gabungan Aksi Roda Dua (Garda) saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (12/3).

Alasan pengemudi bertahan dengan usulan Rp 3.000 per kilometer, dijelaskan Igun karena pengemudi masih dipotong sebesar 20 persen untuk aplikator. Artinya, pengemudi mendapatkan Rp 2.400 per kilometer.

Adapun untuk tarif batas atas, Igun mengatakan, para pengemudi mengusulkan sebesar Rp 3.500 per kilometer. Namun, menurut Igun, terkait batas atas tak begitu menjadi fokus pengemudi. Sebab, pendapatan Ojol bergantung pada besaran tarif batas bawah.

Selain itu, Igun menambahkan, pengemudi mengusulkan agar jarak minimal penggunaan Ojol sejauh lima kilometer. “Misalkan penumpang hanya menempuh jarak tempuh kurang dari lima kilometer, minimal biaya Rp 12 ribu. Tapi kalau lebih dari lima kilometer, sudah berlaku tarif normal atau minimal Rp 15 ribu,” tuturnya.

Lebih lanjut, Igun, menjelaskan, hal utama yang ditekankan oleh Garda adalah aturan terkait suspensi atau pemutusan hubungan kontrak dengan mitra. Sejauh ini, menurut dia, aplikator seringkali melakukan suspensi kepada mitra tanpa alasan yang kurang transparan.

Di sisi lain, pengemudi kerap kali tidak mengetahui kesalahan yang diperbuat. Igun pun menyayangkan pihak aplikator yang tidak menerapkan toleransi atas kesalahan dari Ojol. Hal itu karena kesalahan pertama yang dilakukan, aplikator dapat langsung melakukan suspensi secara sepihak.

Garda memandang, ada baiknya jika aplikator menerapkan tiga kali peringatan tertulis sebelum akhirnya melakukan suspensi. “Ini juga menjadi perhatian. Kita mengusulkan agar ada peringatan sebanyak tiga kali. Lebih dari itu, kalau masih melakukan kesalahan, silakan suspensi,” ujar dia.

Saat ini, rata-rata pengemudi yang terkena suspensi berpindah ke aplikator lain. Namun, jika sudah terkena suspensi di dua aplikator yang ada saat ini, maka mau tidak mau pengemudi Ojol beralih profesi.

“Menurut kami ini mengkhawatirkan, sebelumnya mereka bisa mencari nafkah dari Ojol namun di suspensi sepihak yang terkadang kesalahannya saja tidak tahu,” ujar dia.

Dua hal itu, kata Igun, telah disampaikan kepada Komisi V DPR pada saat audiensi pada Senin (11/3). Ia mengatakan bahwa pihak Komisi V DPR telah meminta Kementerian Perhubungan sebagai pemerintah yang berwenang untuk segera merilis payung hukum untuk Ojol di Indonesia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement