REPUBLIKA.CO.ID, ALJIR -- Presiden Aljazair Abdelaziz Bouteflika memutuskan menunda pemilihan yang dijadwalkan berlangsung pada 18 April mendatang. Meski demikian, ia mengatakan tidak akan berupaya mendapatkan kembali jabatannya.
“Tidak akan ada masa jabatan kelima. Tak ada pernyataan mengenai itu bagi saya, mengingat kondisi kesehatan dan usia saya, tugas terakhir saya bagi warga Aljazair adalah berkontribusi bagi pembentukan republik baru,” ujar Bouteflika dilansir BBC, Selasa (12/3).
Pencalonan Bouteflika kembali sebagai presiden negara di Afrika Utara itu telah memicu protes besar-besaran di seluruh Aljazair dalam beberapa pekan terakhir. Pria berusia 82 tahun itu telah menjabat sebagai presiden selama 20 tahun. Meski demikian, ia jarang tampil di hadapan publik sejak mengalami serangan strok pada 2013.
Hingga saat ini belum ada tanggal pasti kapan penyelenggaraan pemilihan presiden di Aljazair dilakukan. Selain itu, tak diketahui apakah Bouteflika tetap akan mencalonkan diri kembali.
Sebelumnya, Bouteflika mengatakan ia akan mundur sebagai presiden lebih awal dari yang seharusnya, jika terpilih kembali dalam pemilihan. Meski demikian, hal itu tak dapat menghentikan aksi protes yang terjadi di Aljazair.
Aljazair dilanda aksi protes besar-besaran warga, dengan ribuan orang yang turun ke jalan menggelar demonstrasi. Banyak kegiatan masyarakat yang terhenti, seperti para guru, siswa, dan orang-orang lainnya tidak melakukan aktivitas mereka.
Pada Senin (11/3), sebanyak lebih dari 1.000 hakim di Aljazair dilaporkan menolak untuk mengawasi pemilihan umum jika Bouteflika kembali mencalonkan diri. Dalam sebuah pernyataan, para hakim mengatakan mereka juga telah membentuk asosiasi baru.
Hal itu menjadi pukulan telak bagi Bouteflika yang baru saja kembali ke Aljazair setelah menjalani perawatan medis di Swiss pada Ahad (10/3). Bersamaan dengan itu, kepala staf militer Aljazair, Gaed Salah mengatakan militer dan rakyat memiliki visi yang sama tentang masa depan negara tersebut. Mereka menyatakan mendukung aksi protes yang dilakukan.
Bouteflika menjadi salah satu pemimpin yang berhasil tetap berkuasa saat Arab Spring atau Musim Semi Arab terjadi pada 2011. Dalam gerakan tersebut, sejumlah pemimpin di negara-negara sekitar Aljazair ditumbangkan.
Banyak warga Aljazair mengkhawatirkan faktor kesehatan Bouteflika dan khawatir ia meninggal di masa kepemimpinannya. Hal itu dapat menyebabkan ketidakstabilan politik yang berbahaya.
Perdana Menteri Aljazair Ahmed Ouyahia mengumumkan pengunduran dirinya. Ia akan digantikan oleh Menteri Dalam Negeri Noureddine Bedoui, yang saat ini telah ditugaskan untuk membentuk pemerintahan baru.