REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga riset Institute of Economics and Finance (Indef) mengemukaan, pemerintah perlu memberikan insentif fiskal untuk seluruh pelaku yang terlibat dalam industri mobil listrik. Pemberian insentif secara menyeluruh akan sangat membantu agar Indonesia benar-benar mampu menjadi produsen.
“Insentif yang diberikan jangan tanggung-tanggung kalau memang arahnya mau menjadi produsen. Insentif harus diperluas,” kata Ekonomi Indef, Andry Satrio Nugroho saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (12/3).
Sebagaimana diketahui, pemerintah melalui Kementerian keuangan (Kemenkeu) akan menyusun insentif fiskal berupa pelonggaran Pajak Penjualan Nilai Barang Mewah (PPnBM) untuk mendukung percepatan produksi mobil listrik di Indonesia.
Pemerintah mengusulkan agar pengenaan PPnBM juga dihitung dari besaran emisi karbon. Makin rendah emisi, maka semakin rendah pula tarif PPnBM. Andry mengatakan, insentif fiskal dalam bentuk pelonggaran PPnBM itu cukup tepat.
Sebab, saat ini insentif kepada industri kendaraan roda empat tak mesti berpatokan pada besaran sentimeter kubik (cc) lagi. Namun, perlu memperhatikan kadar emisi yang dihasilkan agar kendaraan yang ramah lingkungan bisa berkembang di Indonesia.
Hanya saja, insentif jangan hanya diberikan kepada produsen. Namun juga kepada penyedia pengisian bahan bakar listrik, hingga penyedia energi listrik untuk mobil. Selain itu, yang tak kalah penting, pemberian insentif itu harus merata di setiap daerah.
Setelah ekosistem pelaku industri listrik berjalan lancar, Andry mengatakan, selanjutnya pemerintah baru bisa menargetkan ekspor mobil listrik. Andry menilai, pasar ekspor mobil listrik masih amat terbuka. Termasuk ke Australia, mengingat saat ini perjanjian perdagangan IA-CEPA baru saja disepakati.
“Minimal, kita bisa mengejar pasar yang middle-low. Sasaran ekspor masih terbuka juga di Australia yang saat ini pasar mobilnya masih dipegang Thailand,” ujarnya.