REPUBLIKA.CO.ID, BETHLEHEM — Teriakan panik mengganggu suara biasa di Checkpoint (Pos Pemeriksaan) 300 Israel di Bethlehem. Lokasi itu adalah tempat ribuan pekerja Palestina mengantre berjam-jam, sejak pukul 03.00 untuk bekerja di Israel.
Para pekerja biasanya menghabiskan waktu dengan mengobrol, bercanda, bahkan berteriak frustrasi sembari memukul-mukul palang baja. Mereka berharap pintu pembatas yang sebentar-sebentar dikunci petugas perbatasan Israel, segera dibuka.
“Dia pingsan. Beri jalan! Panggil ambulans,” teriak seseorang di tengah kerumunan.
Suara orang-orang terdengar lebih keras ketika seorang pria muda dibawa keluar pos pemeriksaan. Pria muda yang terbaring di tanah itu dalam kondisi lemas. Kerumunan orang-orang paling dekat mencoba menyadarkannya, tetapi tak ada hasil.
“Bergerak, bergerak! Beri ruang! Biarkan wartawan film! Tunjukkan pada dunia apa yang terjadi pada kita,” teriak seseorang pada Aljazirah.
Tak lama kemudian, sebuah ambulan datang dan membawa pria itu ke rumah sakit. Sementara pekerja lainnya masih tetap bertahan di lokasi yang sama.
“Israel memperlakukan hewan lebih baik dari kita,” kata seorang pekerja.
Peristiwa yang menimpa pria muda tadi adalah rutinitas paling khas di Checkpoint 300. Para pekerja mengamini kondisi mati lemas, patah tulang rusuk, dan kematian sudah lama dikeluhkan orang-orang Palestina di pos pemeriksaan. Namun, kondisi itu memburuk sejak dua bulan terakhir.
Pos pemeriksaan itu dibangun lebih dari satu dekade lalu sebagai bagian dari tembok pemisah Israel. Pos itu dianggap ilegal oleh Mahkamah Internasional (ICJ) pada 2004. Sebuah organisasi yang memantau pos-pos pemeriksaan Israel, EAPPI menyebut Pos Pemeriksaan 300 adalah pos terburuk di Tepi Barat.
Ribuan warga Palestina dari Tepi Barat harus melewati pos itu untuk bekerja di Yerusalem Timur yang diduduki Israel. Diperlukan waktu hingga tiga jam untuk melewati pos pemeriksaan selama jam sibuk. Ketika lalu lintas lengang pada siang hari, perjalanan hanya membutuhkan waktu beberapa menit. Banyak warga Palestina yang memilih menganggur di Tepi Barat. Namun tidak sedikit warga yang memilih bekerja di Israel untuk mendapatkan upah lebih baik daripada di Tepi Barat.